KASIHAN


.

Menjadi orang tua adalah sebuah seni sekaligus keterampilan.

Dan celakanya tidak ada sekolah manapun yang mengajarkan bagaimana menjadi orang tua yang baik.  Kita sendiri lah yang harus mempelajarinya … “learning by doing”.

Tulisan ini sedikit banyak terinspirasi dari tulisan Ibu Noviana Dewi, berjudul “Belajar (lagi) dari anak-anak”.  Di dalam tulisan tersebut Bu Novi bercerita tentang pengalaman Daniel anaknya, yang mendapat tugas untuk berjualan – menjaga stand Bak Pau di sekolahnya.  Wajahnya begitu memelas.  Menjaga stand, dengan sabar.  Tidak ada yang beli pada awalnya.  Kasihan sekali. 

Melihat ekspresi Daniel ketika berjualan … mendadak saya teringat pengalaman anak saya. 

Dulu anak saya si Sulung juga pernah mengalami hal serupa.  Walaupun agak sedikit berbeda mekanismenya.  Si Sulung waktu itu sudah kelas 1 SMP.  Baru masuk.  Dia ikut ekskul “Student Company”.  Belajar usaha wiraswasta kecil-kecilan ala pelajar SMP. 

Suatu ketika ada Bazaar di sekolahnya.  Bertepatan dengan pembagian raport semesteran kalau tidak salah.  Pengunjung ramai, para Orang tua murid yang mengambil rapor anak-anaknya.  Pihak sekolah mengundang berbagai pihak untuk membuka stand promosinya disana.  Ada stand perbankan, butik, toko buku, toko stationery dan mainan dan juga tidak ketinggalan stand makanan aneka rupa.  Ada sate, ayam bakar, soto ayam, pizza, hamburger, kebab, minuman aneka rasa.  Sebagian dari merek-merek dan gerai franchise yang sudah terkenal.

Tim ekskul “Student company” juga tidak mau kalah, mereka juga membuka stand makanan dan minuman di Bazaar tersebut.  Tapi namanya juga anak-anak, tentu “hingar bingar” nya kalah dengan mereka-mereka, para orang dewasa yang memang sehari-harinya mencari makan di bisnis makanan-minuman.  Stand “Student Company” sepi pembeli.  Dagangannya juga kurang begitu ditata.  Pengunjung tersedot ke stand-stand lainnya, yang lebih “mengundang”.

Melihat kenyataan standnya yang sepi, rupanya mereka sedikit mengubah strategi.  Mereka mencoba lebih aktif “jemput bola”.  Anak-anak kelas satu (termasuk anak saya si Sulung), dikerahkan untuk menjadi … PENGASONG – Sodara-sodara.

“Om es buahnya Om … , lima ribu aja Om …”

“Tante beli es buah tante, untuk anaknya … “

“Boleh kak es buahnya … seger kak …  “

Saya lihat dari kejauhan, Si Sulung mengasong jualannya.  Berjalan di seputaran areal Bazaar.  Membawa baki berisi penuh gelas-gelas plastik es buah.  Setengah mengiba mereka mengasong kepada para orang tua murid yang berkunjung ke Bazaar tersebut.  Banyak yang menolak untuk membeli.  Mungkin mereka lebih tertarik pada makanan atau minuman yang sudah kondang … yang disajikan secara profesional di stand-stand terkenal itu.

Jujur saya kasihan sekali pada si Sulung.  Bagaimana dia terbungkuk-bungkuk sopan, menyapa, mengasong dan menawarkan setiap orang tua/wali murid yang berpapasan dengannya.   Tidak jarang ada juga yang bersikap acuh tak acuh, menoleh sebentar lalu melanjutkan aktifitasnya tanpa berkata apapun.  Bahkan membuang muka.  (Pengen rasanya gua gampar mukanya tu Orang … nggak sopan bener sikapnya sama anak-anak)(hahaha)

Saya menguatkan hati untuk tidak “ikut campur” menolongnya.  Walaupun dalam hati saya sudah tak tahan, ingin sekali berlari ke arahnya dan memborong seluruh dagangan anak saya itu.  Supaya dia tidak berpanas-panasan lagi.

Tapi saya sadar … itu bukan tindakan yang mendidik … !!!
Saya biarkan dia terus mencari pelanggan-pelanggannya.  Sesekali dia berdiri, beristirahat, meneduh dari panasnya hari.  Tapi lucunya, si Sulung meneduh di dekat stand makanan yang terkenal pula.  “Aaaahhh anakku inih … kenapa juga berdiri di situ naaakkk … kalah saingan kamu nak”.  Kamu harus berjalan ke tempat yang jauh dari stand makanan dan minuman itu.  Sehingga kesempatan untuk dibeli konsumen menjadi lebih besar.  Kalau perlu kamu berjalan, jemput bola ke kelas-kelas … kamu cegat orang tua yang baru saja keluar dari mengambil raport anaknya. Sebelum mereka mencapai stand makanan-minuman profesional itu.

Tentu saja semua kalimat tersebut saya telan dalam hati saja.  Sekali lagi, biar dia mengambil pelajaran dari aktifitas yang dilakukannya siang itu.

Perlu waktu yang lama untuk mendapatkan pembeli pertamanya.  Peluh pun bercucuran.  Akhirnya setelah berjalan kesana kemari (yang diselingi dengan istirahat berdiri di dekat stand makanan terkenal itu), Alhamdulillah diapun mendapatkan pembelinya yang pertama.  Yang berkenan membeli satu gelas es buah. Anda harus lihat bagaimana berbinarnya mata si Sulung menerima uang pembelian es buah itu.  (Tidak bermaksud lebay … tapi Saya harus jujur … Waktu itu Saya terharu sekali melihat ekspresi si Sulung dan memperhatikan tangannya yang khusyu menengadah menerima uang itu).

Dari gerakan mulutnya saya melihat si Sulung berkata : “Ma kasih Oommm … “ (sambil membungkuk takzim)

Rupanya pembeli pertama tadi, membuka rejeki si Sulung.  Karena tak lama kemudian … saya lihat dia mendapatkan beberapa konsumen lainnya.   Tidak berduyun-duyun sih … tapi ada saja yang membeli.

Saya pikir kinilah saatnya saya beraksi.  Saya dekati dia.  Lalu saya tanya … “Mas jualan apa kamu ?”

“Es Buah Yah ?”  (kalimatnya terhenti sampai situ saja.  Rupanya dia sungkan menawarkan dagangannya ke Ayahnya sendiri)(Hahaha)

“Ayah beli es buah nya ya … dua !!!” (Sambil saya berikan uang Sepuluh Ribu Rupiah, harga pas untuk 2 gelas es buah).  Sengaja saya tidak melebihkan uangnya.  (Walaupun saya ingin sekali melakukannya)  (Harus Tega Nang !!!)

.

Jadi demikianlah  …
Saya rasa hampir semua orang tua mengerti dan sadar bahwa untuk mendidik anak agar bisa menjadi pribadi yang mandiri itu sering kali kita harus bersikap “TEGA” dan “TEGAS”.

Namun sumpah … dalam pengejawantahannya … tidak semudah berbicara
Tidak semudah itu kawan !!!

Ini perlu Hati yang Besar untuk melaksanakannya.

Bukan begitu Bapak-Ibu ? Abi-Umi ? Papa-Mama ? Ayah-Bunda ?
Mari kita bersama belajar menjadi orang tua yang bijak bagi anak-anak kita !!!

.

Anda pernah punya pengalaman serupa ?
Yang saya ingat beberapa sahabat-sahabat blogger pernah bercerita mengenai hal ini …
Someway – Somehow cerita yang kurang lebih sama tapi dari sudut pandang yang lain … 
pernah juga diceritakan oleh Erry Andriyati di Romantika Anak Komplek”
Dan di tulisan Myra “Chi” Anastasia di Pasar Mini”

Salam saya

71071D338183D7765E8404E3E942AEC9.

.

teh
sekedar ilustrasi saja, tak ada hubungannya dengan isi postingan

Penulis: nh18

I am just an ordinary person who work as a trainer. who wants to share anything he knows ... No Matter how small ... No Matter how simple.

47 tanggapan untuk “KASIHAN”

  1. Membaca cerita-cerita ini bikin hati terenyuh.
    berbesar hati si anak yang akhirnya tumbuh dewasa dengan kerendahan hati. Dengan kehadiran Orang tua yang turut mendidik dengan cara yang demikian. Si anak pada akhirnya bisa mengenal rasa iba, kerja keras, dan gak gampang mengeluh.

    Tapi saya juga akan belajar kearah itu. Mau tidak mau

    Terima kasih pula sudah diingatkan

  2. Saya yang masih newbie ini mesti banyak belajar tentang menjadi orang tua yang baik bagi anak saya… Sebisa mungkin harus bisa “tega” membiarkan anak menemukan solusi atas masalahnya sendiri.. Dengan begitu, harapannya ia akan bisa mengambil hikmah dari kesulitan yang ia temui, menjadi tangguh ketika menghadapinya lagi dikemudian hari…

    Salim,

  3. Setuju banget, Om. Jadi orangtua memang gak ada sekolahnya. Meski saya belum punya anak, tapi saya punya keponakan. Serba salah saat mereka melakukan sesuatu, saya lalu berusaha untuk menolong. Padahal bisa saja hal yang mereka lakukan itu adalah bagian dari proses belajar.
    Kalau pengalaman saya bazar di sekolah, serta pengalaman sepupu dan keponakan-keponakan saya, tak pernah ada stan dari luar yang masuk ke sekolah. Semua merupakan swadaya siswa. Jadi, persaingan cuma antar kelas aja. 😀

  4. Hmm apakah itu pertanda suatu saat nanti si sulung bakal jadi pengusaha es di gerai-gerai ternama ya Om?

    usul Om.. piye kalau brand produknya nanti dinamai “Es Criminal Casse” hahaha

  5. jadi inget postingannya bakul kue, yang anaknya diajak jualan donat buat nambahin duit beli mainan mahal.. akhirnya ke pasar, duduk di tangga, nawarin ke ibuibu, ga putus asa, dari pagi sampe sore.. ternyata emang kudu “jemput bola”.. emaknya ga tahan pengen borong, tapi ya akhirnya ada neneknya yang beli sebuah donat, eh belakangan ada ibuibu beli semua donat sisa, gimana tidak isinya cuma 20.. tapi jadi belajar, mencari duit itu butuh usaha.. dan jangan menyerah kalu ga laku.. dan tetep selalu tersenyum.. inspiratif deh..

  6. saya ngebayanginnya aja terharu om… apalagi om yang ngalamin sendiri ya waktu itu…
    tapi ya kadang kita harus nahan diri ya om, namanya biar anak belajar ya…

  7. yup TEGA dan TEGAS… jadi ingat pernah menulis dengan judul itu, dan menjadi tulisan populer nomor 2 di TE sesudah Solitaire dan Sendiri.

    Kadang aku menilai anak-anak Jepang itu lebih “enak” untuk mendapatkan pengalaman hidup, karena TIDAK dimanja oleh keluarga dan lingkungan. Mereka HARUS kerjakan semua sendiri, HARUS jalan kaki dalam hujan dan salju sendiri, HARUS naik bus/kereta sendiri, Harus melayani teman-temannya waktu makan siang di sekolah sendiri dan membersihkan semua sendiri. Tidak ada orang (baik tua atau muda) menyapu atau angkat-angkat barang di depan temannya. Tidak gengsi. dsb dsb.

    Manja, gengsi malu, malas itu penyakit yang harus diberantas untuk menjadi manusia sesungguhnya.

  8. Pelajaran sangat berharga;
    1. Mencari uang itu tidak mudah, harus ulet,sabar dan sedikit tebal muka serta pantang menyerah.
    2. Setiap orang tua pada umumnya memilki rasa”tidak tega melihat anaknya susah/menderita”
    3. Tidak semua orang mau dan mampu berkata:”Maaf,Dik” untuk menolak tawaran pedagang. Yang cukup banyak adalah membuang muka, cuek bebek.

    Ketika Eny dan Sandy masih sekolah belum pernah berjualan. Justeru setelah berumah tangga mereka pernah melakukan. Eny jualan pakaian di rumah Jombang, tupperware,dll. Sandy jualan tas, sepatu, sandal, salad, dll. Ketika saya menengoknya di Bolaang Mongondow dia malah jualan pulsa. Airmata saya mengembang manakala dia menerima uag 5 ribu, 10 ribu dari pembeli pulsa itu.

    Tapi biarlah mereka berusaha seperti itu agar mengetahui dan merasakan bahwa itu hal yang baik.. Lebih baik jual martabak untuk mendapatkan martabat daripada menual martabat untuk mendapatkan martabak.

    Komentar panjang yo babahno tah

    Salam hangat dari Surabaya

  9. setuju bgt, Om. Bahkan utk urusan jualan ini sy byk belajar dr anak2. Seringkali sy ingin jualan tp kepentok sm rasa malu dan gak pede buat nawar2in. Pdhl sy byk ksih teori supaya pede ke anak2. Dan malah anak2 yg lebih berani juga byk ide2 kreatifnya.

  10. Menyaksikan anak-anak kita yang berjualan demj sebuah pembelajaran terasa tak tega, bagaimana nasib² orang tua yang harus merelakan anak-anaknya putus sekolah dan menjadi PENGASONG. Bersyukurlah kita yang diberikan kemampuan menyekolahkan anak dan mendapatkan pendidikan wirausaha, meskipun terkadang mereka berangkat tanpa uang sakui

    SALAM DARI PAMEKASAN MADURA

  11. Saya setuju dengan tindakan Om, tega dan tegas.
    Hal ini mengingatkan saya dengan anak tetangga dan sempat akan menjadi bahan tulisan namun gegara Hani sakit jadinya tak kuasa membuak laptop, he he he

    Jadi, tetangga kami itu kebanyakan etnis China (tanpa maksud SARA ni, Om), nah pada suatu hari Kakak ipar masuk kamar bilang “Han, Han..lu tahu gak tante tetangga sebelah tu jualan donat lho, lucu dia berkeliling” katanya, saya dan suami langsung mendongak tapi suami tak merespon hanya saya yang bilang “wah, keren dong Mbak pasti enak” trus dia keluar.

    Nah, pas hari Minggu suami tiba-tiba masuk kamar “yang, yang lucu deh si adek itu masak jualan dari gerbang bukannya nawarin dagangannya malah nanya ‘tantenya ada, Om?’ ” Hani jawab saja “Ye….namanya juga anak kecil ga ngerti trik jualan, tapi hebat lho Mas…Hani suka anak kaya gitu punya semangat juang!”
    Akhirnya dong, pas agak sorean gitu Hani berkesempatan bertemu sama si adek kelas 4 SD ini yang katanya berjualan keliling komplek (gak luas sih, hanya beberapa rumah, paling 1 km) dengan mukanya yang memerah dan malu-malu.
    Saya salut sama orang tuanya yang sudah mendidik si anak dengan menanamkan jiwa bisnis dan juga semangat juang di dalam dirinya ini, karena saya mikir belum tentu saya mampu melakukannya…seperti kata Om…sumpah gak tega saidara-saudara 😀

    Salam Om…jadi cerita, hehehe

  12. Dalam kasus jualan ini, yaa biarkan anak berusaha dulu, bila dia minta bantuan pun kita kasih saran dulu, bila saran tidak manjur dan sudah dicoba, bolehlah kita membantunya, bila masih gagal, inilah cara yang baik untuk menanamkan hidup hemat karena cari uang itu tidak mudah kadang tidak sesuai dengan teori.

  13. Ooooom…
    ternyata setiap orang tua memiliki perasaan barbar yang sama kalo udah menyangkut anak yah Om…
    Suka pengen gampar gamparin orang rese yang berani menyakiti hati anakkuuuu…heheheh…

    Tapi ya gitu deh Om,…memang kalo kita bener2 sayang sama anak kita, artinya kita harus ‘mengijinkan’ anak kita mendapat perlakuan seperti itu agar bisa lebih kuat di kemudian hari 🙂

    Semangat terus buat sulung yah!
    Mudah2an nanti bisa buka Cafe es buah yaaaah…hihihi…

  14. Tidak hanya saat anak-anak belajar berwirausaha, Om. Dalam kehidupan sehari-hari pun rasanya ingin selalu menolong anak kita, misalnya membantu dalam memakai sepatu, makan, dan kegiatan remeh temeh lainnya, padahal mereka seharusnya sudah bisa. Hehehe ketahuan kalau saya memanjakan anak ya? Hehehe…

    Salam hangat

  15. mata saya berkaca-kaca Om bacanya. Membayangkan posisi Om dan posisi anak Om karena saya sekarang bisa melakukannya (udah punya anak maksudnyah).
    Maturnuwun Om.. 😀

  16. di sekolahnya Pascal juga ada kegiatan jualan seperti itu om, biasanya kalau open house di sekolah. jadi pedagang asongan menawarin ortu yang kenal pasti dibeli deh hehehe. Sayang pascal belum mau ikutan jualan

  17. Sekali waktu anak saya bawa pernak pernik buatan ibunya ke sekolah, dia jual ke teman2nya. Dari awal saya bilang, dari satu barang yang terjual dia bakal mendapatkan 500 rupiah (harga jualnya memang hanya 2000 rupiah). Ternyata laku semua. Pengennya sih semua uangnya saya kasiin karena dia berhasil jualan, tapi karena janjinya hanya dapet 500/barang, ya sudah sesuai perjanjian. Sayanya harus tega.
    Seneng deh ngeliat wajahnya yg sumringah karena dapet uang hasil berjualan. Dan dia malah ketagihan jualan. Ibunya yg malah males buat pernak perniknya 😀
    Ah jadi keidean buat nulis tentang ini 🙂

  18. Saya paham banget dengan suasana hati Om saat itu…tapi itulah cara mendidik anak yang menurut saya tepat Om..

    Anak2 saya malah yg suka punya ide jualan, si Sulung yg SMP itu kini lg getol2nya jualan pulsa..kalo sebelumnya dia suka bikin kertas yang ditempel gambar2 lucu kemudian di jual ke teman2nya…

    Sedang si Bungsu yg msh 7 taun itu suka jual mainan yang ia beli ke temannya dengan mengambil untung 100,- , suka geli juga sama si Bungsu ini, entah idenya dari mana..

    Namun spt Om juga, saya biarkan anak2 itu belajar menghargai sebuah kerja keras dan menghargai uang..

  19. Belum pernah punya pengalaman yang begini sih Om, soalnya anak masih usia 1 tahun. Tapi soal tega & tegas yang tidak semudah berbicara, sedikit-sedikit sudah mulai saya rasakan, biasanya saat anak belajar makan, melatih supaya terbiasa makan dengan duduk tanpa digendong apalagi keliling-keliling, melatih supaya jangan terbiasa merengek atau melempar makanan & perkakasnya. Kembali ke cerita Om, saya membacanya jadi ikut merasakan kasihan, membayangkan kalau anak saya yang berjualan. Tapi acaranya bagus ya untuk mengajarkan anak menghargai uang, tau bagaimana uang itu didapat. Juga mengingatkan saya untuk menolak pedagang asongan dengan halus & sopan.

  20. MEmbaca ini, saya juga ikut merasakan perasaan om Nh melihat anak jualan es buah. Tapi memang seperti itulah seharusnya kita bertindak ya om (sebagai orangtua). Insya Allah anak2 belajar dari situ. Anak saya belum pernah tuh. Malah saya nawarin mau nggak dia jualan stiker ke teman2nya biar nanti dapat komisi, dia nggak mau. Saya yang gemas … ini mau diajarin entrepreneurshio koq ndak mau hahaha.

    Ada teman anak saya waktu SD, tiap hari bawa nasi kuning buat jualan. Ibunya yang bikin. AYah -ibunya sudah bercerai. Tiap hari teman2nya beli sama dia. Saya salut sekali mendengarnya. Suatu waktu gurunya larang anak itu bawa nasi kuning lagi, gak boleh jualan .. waaah gemas sekali saya. Ini guru tidak sadar apa sudah merusak semangat entrepreneurship anak? ck ck ck

  21. Sulung sedang meneladan ayahandanya tentang kerja keras seraya belajar kerja strategik. Bungsu saat sekolah juga ikutan ngasong di Ambarawa meramaikan game bisnis dari suatu PTS. Salam

  22. Aahh Oomm bisa saya bayangkan Oomm bagaimana pedihnya hati ini, karena kasihan dan ingin memborong semua dagangan anak.

    Dulu papi saya juga begitu. Waktu saya dan abang saya masih jualan kafe tenda di jalan besar, tiap tengah malam saat kita pulang ke rumah dan tepar kecapekan, beliau selalu ngecek kotak uang, ingin tahu berapa sih pendapatan anak2nya hari ini, pembeli ramai tidak yaaa… Sedih gitu kayaknya karena anaknya jualan, padahal kita ya hepi aja, kan belajar ya Om…

  23. saya waktu kelas 1 SMA pertama kalinya jualan2 gitu om, rasanya susah bangettttt, itu kami (anak2 kelas 1) lakuin buat ngumpulin dana acara tahunan sekolah. dari jualan sampe ngamen dilakuin, mama sama ayah saya sampe nanya harus jualan gini tiap hari? uangnya buat apa? siapa yg nyuruh? dll berat banget rasanya, tapi mau ngeluh takut orang tua kepikiran makanya kalo ditanya saya ceritanya seneng2 aja :”)

    btw yang nyari rumah minimalis yang depannya danau bisa cek di http://www.citralakesawangan.com/?p=1405

  24. beruntungnya si sulung punya pengalaman berbisnis sejak dini apalagi ada ekskul “Student company” disekolah..

    semoga saya belum terlambat untuk belajar berbisnis *sudah bosan jadi karyawan kantoran* 😛

  25. Hehehe…iya, harus tega.
    Ini merupakan bekal anak-anak bahwa menjual itu sulit…merayu pembeli, meyakinkan bahwa barang dagangannya cocok untuk dibeli adalah sulit….

    Dan mereka akan menghayati pengalaman ini.

  26. Saya belum pernah punya pengalaman spt itu om. Sy pernah diceritain anak sulung bahwa dia waktu SD dulu pernah ngamen berdua temannya panas2an di lampu merah.
    Dari pkl stgh satu sampai pkl 3, hanya dapat 3000rp,pulangnya duit itu dibeliin minuman botol dan gorengan. Katanya hanya dapat itu, duitnya sdh habis. Pqkaian Sekolah kotor, kulit hitam dekil.
    Waktu itu dimarahin mamanya krn malas belajar.
    Mamanya nangis om degar anaknya cerita

  27. Kalau peristiwa yang hampir mirip, kami belum pernah mengalaminya, Om.. Tapi kalau soal ketegaan, tentu Om sudah tahu tentang bagaimana kami harus tega membiarkan putri semata wayang belajar di pondok. Kalau tidak kuat, sudah sedari awal Satira saya bawa pulang. Alhamdulillah, ketegaan tersebut sedikit demi sedikit menunjukkan hasilnya.. Semoga bisa terus bertahan hingga akhir.. Mohon doanya ya Om.. 🙂

Tinggalkan Balasan ke Susindra Batalkan balasan