
Ini cerita tentang “piala bergilir”.
Saya tidak tau apakah hal ini masih ada di zaman sekarang atau tidak. Namun dulu ketika saya masih kuliah, teman-teman saya terutama yang wanita satu persatu mulai disunting oleh calon suaminya. Menikah, memasuki jenjang selanjutnya dalam siklus kehidupan mereka. Ini terjadi ketika kami sudah menginjak semester-semester akhir perkuliahan. Melihat hal tersebut akhirnya kami sekelas mempunyai ide untuk membuat semacam piala bergilir. Sebut saja piala bergilir pernikahan.
Piala bergilir tersebut diserahkan kepada teman kami yang sedang melangsungkan acara pernikahan. Kami akan beramai-ramai datang ke pesta – walimahan pernikahannya lalu secara resmi piala tersebut diserah-terimakan kepada mempelai disaksikan oleh para hadirin. Ramai. Meriah. Membahagiakan. Silaturahmi yang hangat.
Sebelum diserahkan, di badan piala tersebut akan digrafir nama teman yang menikah. Contoh :
- Aan Suana
- Bebi Bala-bala
- …
Jadi ritualnya adalah kami semua akan berkumpul di panggung. Lalu Aan sebagai pemegang piala bergilir sebelumnya akan menyerahkannya kepada Bebi, sang pengantin baru. Nanti jika ada undangan pernikahan teman kami yang lain lagi, misalkan namanya Caca, maka Bebilah yang bertanggung jawab untuk meng-grafir nama Caca dan menyerahkannya kepada mempelai, di acara penikahan Caca. Demikian seterusnya.
Tujuan upaya ini tak lain dan tidak bukan adalah untuk tetap menyambung tali silaturahmi pertemanan dan kekeluargaan diantara kita para alumni satu angkatan perkuliahan.
Namun demikian … ternyata prosesnya tidak se”mulus” yang kita duga.
Kami satu angkatan itu jumlahnya ada 150-an lebih mahasiswa-mahasiswi. Pernikahan teman kami yang pertama, kedua, ketiga sampai ke lima, ke enam ritual ini relatif lancar jaya. Karena kebetulan sebagian besar dari kami masih menyelesaikan studi di Bogor. Masih relatif berkumpul di satu kota. Jadi masih mudah menkoordinasikannya. Namun ketika kami lulus, tentu saja kami mencari nafkah sendiri-sendiri. Ada yang bekerja di dekat-dekat Jabodetabekasergon sini saja. Namun banyak juga yang kembali ke kampung halamannya masing-masing. Nun jauh di ujung Nusantara sana. Dari propinsi Nangroe Aceh Darusalam sampai Papua. Ini masalah tersendiri sodara-sodara. Ya komunikasinya … ya logistiknya.
Yang pegang piala bergilir sekarang misalnya Foni tinggalnya di Ambon. Lalu yang menikah berikutnya adalah Gamal, tinggalnya di Lhokseumawe. Naaahhh ini … tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit bagi Foni untuk membawa piala bergilir tersebut khusus dari Ambon terbang ke Lhokseumawe. Akhirnya kami ambil jalan tengah, Foni tidak perlu datang ke Lhokseumawe. Dia cukup mengirimkan piala tersebut lewat paket saja (tentu setelah terlebih dahulu di grafir nama Gamal di piala tersebut)
Masalah pertama, mengenai lokasi geografis teratasi. Namun ada masalah yang lain lagi. Ada satu dua kejadian dimana teman kami menikah tetapi karena kesulitan informasi, lost contact, data tidak up date atau sulit berhubungan jadi terlewat begitu saja. (Ingat jaman dulu internet belum ngetop seperti sekarang, belum ada HP apalagi social media FB, WA dsb). Contohnya ketika teman kami Harun, lalu Ina, lalu disusul Joko menikah kami semua tidak tau. Gamal sebagai pemegang piala bergilir yang terakhir pun tidak tau. Akhirnya nama Harun, Ina, dan Joko terlewat tidak tergrafir. Baru kemudian ketika teman kami yang lain, Koni menikah, piala tersebut baru diserahkan Gamal langsung kepada Koni. Kebetulan rumah Gamal di Bogor dan rumah Koni di Jakarta. Dekat. Mudah komunikasinya. Mudah logistiknya.
Ada juga peristiwa lucu, dimana piala bergilir itu hanya berumur beberapa jam saja di satu tangan. Hari ini diserah terimakan dari Koni ke Leli. Besok Leli harus sudah menyerahkannya kepada Momon. Karena tanggal pernikahan Leli dan Momon cuma berbeda satu hari. Nasib si Leli, piala belum terpajang di rumah, sudah harus terbang lagi.
Jadi demikianlah … cerita tentang piala bergilir pernikahan.
Memang tidak mudah menjaga silaturahmi, hubungan pertemanan diantara 150 orang teman satu angkatan. Sebab kita semua sudah tersebar kemana-mana. Bahkan banyak yang belajar ke luar negeri juga waktu itu …
Sekarang bagaimana nasib Piala Bergilir itu ? Apa masih ada ? atau jangan-jangan sudah berkarat ?
Saya tidak tau. Piala Bergilir itu kini berada dimana. Siapa yang pegang piala tersebut terakhir pun juga saya tidak tau. Sudah lama sekali. Hampir semua dari kami satu angkatan, sudah menikah. Usia perkawinan kami pun hampir sebagian besar sudah diatas 20 tahun …
Dan ironisnya adalah …
Saya sama sekali TIDAK sempat merasakan memegang Piala Bergilir tersebut. Karena ketika saya dan bundanya anak-anak menikah, tidak ada teman kuliah saya yang datang. Kami menikah di sebuah kota kecil di perbatasan Jambi dan Sumatera barat. Di kaki Gunung Kerinci. Saya pun tidak tau saat itu piala bergilir siapa yang pegang. Hahaha … jadi kelewatan deh saya … nasiiibbb … nasiiibb …
Nah sekarang saya ingin bertanya …
Adakah tradisi seperti ini tempat anda ? di teman seangkatan anda ? teman satu gank ?
Bentuknya apa ? apakah piala ? atau prasasti ? atau piring perak ? atau apa ?
Boleh sharing yaaa … !
Salam saya
.
.
.