RALAT


Ralat adalah suatu upaya untuk membetulkan suatu tulisan yang salah.
Ini biasanya berkaitan erat dengan redaksional pemberitaan di suatu surat kabar, tabloit atau media cetak Lainnya.

Jika diketahui ada pemberitaan yang salah (entah itu salah nama, salah menuliskan jabatan, salah data, bahkan juga salah berita).  Maka tim redaksi secara bertanggung jawab segera mengeluarkan RALAT untuk meluruskan berita atau membetulkan informasi yang salah.  RALAT itu biasanya akan dimuat di surat kabar atau majalah  tersebut di edisi terbitan berikutnya.

Namun demikian …
Pernahkah anda memperhatikan …
Ada tiga karakteristik khas yang umum terjadi dari sebuah RALAT.  Dan ini hampir merata di semua media cetak.  Entah koran, tabloit atau majalah …

Tiga karakteristik “RALAT” tersebut adalah

1. Kecil
Biasanya ralat menempati ukuran lay out yang kecil saja, dengan font yang kecil – tipis – huruf miring dan tipologinya tidak mencolok.

2. Letaknya “terpencil”
Biasanya juga RALAT selalu diletakkan di tempat yang relatif jarang di baca orang.  Di halaman yang tidak populer.  Di halaman-halaman kelas teri, yang biasanya dilewatkan orang.  Letaknya agak di pojok pula.  Tergerus iklan baris ataupun iklan-iklan lainnya.  Pokoknya tersembunyi sangat.

3. Pendek
RALAT juga biasanya ditulis singkat.  Seperlunya saja
Plus dengan kata-kata ampuh : “Dengan ini kesalahan telah kami perbaiki”.  Titik.  Habis perkara.  Ringan saja.  Bahkan Tidak jarang tanpa disertai kata “maaf”

Bukan bermaksud untuk nyinyir atau bagaimana.
Tetapi jujur saja, hal ini sedikit banyak agak mengganggu fikiran saya.  Ini agak tidak berimbang.  Ketika mereka merilis berita yang salah, mereka membetulkannya (hanya) dengan cara yang (seolah) setengah hati.  Terkesan disembunyikan, kecil, tidak mencolok dan kalau bisa tidak akan terbaca oleh pembacanya.  Padahal bisa jadi berita yang salah tersebut telah menyebabkan efek/dampak yang tidak sekecil itu.

Mereka meralat sesuatu hanya sekedar agar bisa memenuhi kewajiban kode etik jurnalistik dan semacamnya saja.

Mungkin saya agak berlebihan, namun demikian hal inilah yang selalu saya rasakan setiap kali membaca kolom RALAT di surat kabar atau Majalah.

Kita tidak pernah menyadari bahwa dampak dari penulisan yang salah itu bisa jadi sangat besar akibatnya.  Ada banyak kesalah pahaman bisa terjadi karenanya.  Bisa saja muncul fitnah di sana.  Bisa saja ada hati yang tersakiti karenanya.

Sungguh tidak sepadan dengan upaya RALAT yang cuma secuil itu !

So … biar tidak ada RALAT …
Please Check dan Check Kembali …
Bagaimana menurut pendapat anda ?

.

.
.


(Ralat : Tidak semua media cetak seperti itu, …
ada juga yang melakukannya dengan proporsional…)

.

.

Penulis: nh18

I am just an ordinary person who work as a trainer. who wants to share anything he knows ... No Matter how small ... No Matter how simple.

45 tanggapan untuk “RALAT”

  1. lha, malah ikut2an naruh ralat di pojokan bawah… ada blogger yang pernah mengalami nasib serupa di media cetak, ada gambarnya yang diambil tanpa izin dan sumber, ketika diprotes media tersebut memberi ralat di episode berikutnya… tanpa permintaan maaf, tanpa merasa bersalah, tetap tanpa mencantumkan sumber, dan tidak menyelesaikan masalah…

  2. tulisan di kanan bawah itu udahlah terpencil warnanya pun bikin rabun senja om 😀

    yah begitulah, meralat sesuatu dengan jiwa besar masih sulit dilakukan **aku juga masih begitu..

  3. Setuju Om..
    crosscheck lagi..walau harus berkali2
    kalo baca koran kebanyakan gitu ya..mungkin karena deadline

    coba kalo sama bos bisa mengatakan “ralat bos” (diperkecil)
    yang ada kena warning… 😆

  4. setuju om..
    harusnya ralat juga dipasang sebesar berita sebelumnya yang mungkin sudah terlanjur memojokkan suatu pihak..

    jadi berinmbang gitu lho

  5. selain alasan gengsi, redaktur tabloid/koran merasa halaman yang terlalu besar untuk ralat tidak bernilai ekonomis, jadi mending dibikin kecil dan terpencil moga-moga gak ada yang baca, gitu kali om T

    1. Kayaknya pendapat Mamah Aline ini yg lebih pas… daripada pasang kolom gede-gede buat meralat sebuah berita, mendingan kolom atau space itu dipake buat pasang iklan.. gitu kali yah? 😀

  6. ralat yg dibawah itu, hampir membuat kacamata plus dua ku gak mampu membacanya ,Mas 😦

    kadang, akupun masih suka begitu heheh malas meralat……..
    tapi aku kahan bukan majalah, koran atau tabloid (* cari pembenaran*) 😀
    salam

  7. kadang kita sendiri mengalaminya, perasaan sudah dibolak balik dibaca ulang, cek and cek lagi tapi ttp aja ada yang salah..
    itulah manusia yg dianugrahi kemampuan dan juga keterbatasan. ralat dan minta maaf adalah tindakan yg paling bijak, aq setuju.

    salam bloger.
    kunjungan baliknya ditunggu …thanks.

  8. Ralat yang kecil sekali itu ternyata sering tidak berdampak ya pak trainer….

    karena yang kecil-kecil sering sekali terlewatkan oleh mata kita

    hehehe 🙂

  9. apakah itu bisa dikatakan sebagai cerminan budaya kita yang takut mengaku salah? hmmm… patut dipikirkan…

    tapi, kalau saya meralat status hiatus, boleh gak? 😉

  10. memang terlalu mudah menulis tanpa memperdulikan sebelum diralat tersebut berdampak negatif atau tidak…

    dan saya setuju seharusnya bisa diawali dan/atau diakhiri kata maaf

  11. ..
    Kalo aku jd bos korannya, males aja ngasih space besar buat ralat..
    Mending buat kolom iklan jadi duit..
    *untungnya aku bukan bos koran* 😀
    ..

  12. masalah cek cek dan cek tulisan…. saya merasa gue banget pak…. tanggung jawab yg besar yg terkadang terabaikan karena dikejar detlen….

  13. Yach, begitulah Om…mungkin budaya mengakui kesalahan/ keteledoran, meralat masih dianggap hal sepele. Padahal seperti Om Trainer bilang tadi, mungkin bisa saja berdampak besar krn sebuah keteledoran / kesalahan tadi. Sepertinya perlu budaya yang lebih sportif, konsekuwen, bukan hanya sekedar basa-basi…saya dukung dech Om…pokoknya saya dukung Trainer dech, hahaha 🙂 🙂 🙂

    Best regard,
    Bintang

  14. ralat emang bikin tidak menarik heheee..
    maksudnya.. kalau tulisan udah dibikin susah2 .. tapi musti ada ralat2 di sana sini.. kan jadi mengganggu pemandangan… n pastinya bikin bete bagi yg meralatnya

  15. Sejak pertama kali bisa membaca koran….hal ini juga mengusik putri, pak…
    Kenapa tulisan “Ralat” seperti itu, ya…
    Agak aneh…
    Mungkinkah ini ada kaitannya dengan sikap…
    “Enggan mengakui kesalahan…?”

  16. apakah tabloid/koran itu malu mengakui kesalahannya sehingga membuat tulisan ralat pun sangat kecil dan kalo perlu tak terbaca. Seolah olah enggan mengakui kesalahannya

  17. benar jg yg mas NH tulis ini,…harus proporsional ^^
    tapi kok dibawahnya jg ada ralat ya?
    diujung,disudut dan dengan tulisan yg lebih kecil dari postingan awal,heheh…

    terima kasih sudah berkunjung dan salam kenal mas ^^

  18. Setelah dua jam berpikir keras mengerjakan soal ulangan, saya membuka halaman terakhir dan ada tulisan kecil di pojok kanan bawah : tidak usah dikerjakan langsung dikumpulkan 😀 😀

    Apa kabar pak NH? how’s life? 😀 – salam saya Ebony Ivory side by side on your piano keyboard 😀

  19. Kritis Om … setuju sekali kadang kurang berimbang ..
    Sebuah peringatan juga bagi saya neh supaya selalu teliti dalam menulis
    Trims Om
    Salam hangat selalu 🙂

  20. iya juga ya.. pengakuan dosa itu memang sulit 🙂 ( termasuk bagi saya mungkin.. heheh..)

    *setuju Om.. perlu check and recheck lagi… masalah kesalahan pada redaksional bisa jadi fatal akibatnya.. diperlukan ketelitian tinggi untuk memastikan tulisan yang dibuat secara redaksional sudah benar dan tidak menimbulkan salah persepsi…

  21. begitulah yang pernah terjadi padaku Om, saat fotoku dimuat tanpa ijin di tabloid. Ralat keberatan atas pemuatan foto keciiiil 😦

  22. ini informasi baru buat saya tentang RALAT. secara teknis ternyata publikasi ralat itu sangat tertutup toh.

    memang sih, media massa setidaknya mengedepankan ketelitian yg optimal. mengingat fungsinya sebagai media pemberitaan yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan issu, opini dan pengembangan wacana sosial yang hangat di masyrakat.

  23. Masalah Ralat Meralat bisa bikin meradang juga kalau yang pas salah tetntang karakter seseorg atau masalah yg krusial…Entah yah, kalau liat komne2 di atas…mungkin Karena Sikap kapitalisme, yang menjadi semena2 begitu, semua dipertimbangkan secara ekonomis, dan mengesampingkan sisi kemanusiaan…Padahal, saya pernah liat di Media, kalau Seseorg membuat Permohanan maaf atas satu sengketa, dibuatnya Besar ada Kolom khusus, karena yg bersangkutan Bayar kali yah… 🙂

  24. Wah, kesalahan sekecil apapun ya akan berdampak besar bila tidak di ralat.. namun bila setengah hati meralatnya ya nggak akan berdampak apa2. Dulu sewaktu sidang Skripsi saya juga sempat meralat skripsi saya sebelum disidangkan, dan bentuk ralatannya pun saya tulis dengan jelas dan dengan lembaran tersendiri serta memakai Cover lagi 😀

    Nice info pak

  25. sy amati ad media massa terkenal punya cara yang elekhan dlm membuat ralat, terutama pada rubrik yg sama. selain memberikan informasi yang baru, di akhir alinea mereka menyantumkan kalimat ralat “kesalahan yg dibuat edisi sebelumnya”.

  26. saya kadang cek artikel kayak balapan saja..maka sering ada salah ketik. Maklum dah hampir dapat KTP sumur hidup.
    Kami dulu sering memberi julukan Departemen Ralat soalnya jadwal pelajaran bolak-balik diralat.

    Salam hangat dari BlogCamp

  27. Mungkin ditulis kecil, nyempil dan nggak mencolok karena barangkali saja dianggap bahwa pembaca tabloid/ koran edisi tersebut nggak semuanya ngikutin /nggak baca tabloid/koran yang berisi kesalahan tersebut..

any comments sodara-sodara ?