GIFT AUDIT


Tulisan ini terinspirasi oleh postingan sang semut pelari Husni D’One yang berjudul “Menikah dan Dilema Adat Budaya”

Ketika membaca tulisan tersebut saya jadi ingat pengalaman pribadi saya ketika menikah dulu.  Namun ceritanya agak berbeda dengan apa yang ditulis oleh Husni.

.

Begini ceritanya …

Saya menikah di kampung istri saya, di kota Sungai Penuh, Propinsi Jambi.  Di lereng Gunung Kerinci yang indah.  Tahun 1993  (ngomong-ngomong … sudah pada lahir kan ?)

Saya berasal dari suku Jawa sementara Istri saya berasal dari suku Minang.  Kami menikah dengan adat Minang.  Dilaksanakan di rumah Mertua saya.  Bukan di gedung.  Sederhana saja.  Alhamdulillah berjalan meriah.  Lancar.  Banyak yang datang.  Memang betul kata orang … kekerabatan di kampung halaman itu masih sangat terasa.  Banyak saudara-saudara yang membantu perhelatan ini.

Singkat kata … perhelatan selesai … seluruh rangkaian acara selesai.  Tamu sudah pulang semua.

Malam harinya kami semua,  saya, istri saya, keluarga dan saudara-saudara dekat pihak istri saya, sebagai sohibul hajat berkumpul di ruang tengah.  Mengadakan semacam pertemuan kecil.

.

Acaranya apa ?

Buka Kado sodara-sodara !!!

Ya … buka kado.  Jaman dulu, amplopan masih belum begitu populer.   Memang ada juga sih satu dua orang yang ng-amplop-in, namun pada umumnya orang datang ke kawinan itu dengan membawa kado,  Ada yang besar, ada yang kecil.  Dibungkus kertas kado aneka warna.  Malam itu saya dan istri saya membuka kado-kado tersebut satu per satu … di depan sanak keluarga … !!!

Catat … di depan banyak orang !!!

Tidak cukup hanya membuka dan memperlihatkan apa isinya.  Namun … sekaligus juga di taksir harganya … Lalu di catat.  Audit !!!

.

Contoh … (ini sekedar contoh lho ya …)

Cangkir Mug …mama-papa … 30.000 rupiah

Seprei … 40.000 rupiah

Album Foto … 20.000 rupiah

Setrika … 100.000 rupiah …

Mukena … 35.000 rupiah …

dst … dst …

….

Begitu seterusnya … dibuka satu persatu … ditaksir harganya … lalu dicatat.  Ini juga termasuk satu dua amplop yang si”cecep” kan ke tangan kami atau ke tangan orang tua.  Semua harus dilaporkan … dibuka … dicatat.  Diaudit … Di jumlah total.

.

Terus terang awalnya saya rikuh juga.  Namun ini termasuk salah satu kebiasaan / adat yang selalu dipegang teguh oleh keluarga.

Setelah saya tanya kiri kanan … kepada tetua adat juga ninik mamak …  Barulah saya mengerti.  Filosofi yang mendasari acara ini. 

Filosofinya adalah … Sohibul Hajat jangan sampai berhutang ketika melaksanakan hajatan ini.   Jangan sampai sohibul hajat “habis-habisan” ketika melaksanakan hajatan ini.  Seluruh biaya perhelatan ini akan dihitung.  Lalu kemudian dibandingkan dengan pemasukan – pendanaan yang ada … dan juga ditambah kado-kado yang telah ditaksir nilai harganya tersebut.  Kalau sampai Sohibul Hajat berhutang, atau defisit dana … maka kekurangannya akan ditanggung oleh seluruh keluarga.  Ini demi nama baik keluarga.

Jadi inti dari acara “buka kado” tersebut, yang saya tangkap adalah … memastikan bahwa pembiayaan perhelatan ini telah tertangani dengan baik oleh sohibul hajat … tidak ada hutang piutang … atau jangan sampai ada yang merugi atau berkorban.  Sehingga nama keluarga besar tetap terjaga baik.

Jika orang yang tidak mengetahui filosofinya pasti akan mengernyitkan dahi … “Ah kok kado ditaksir nilainya siihhh ? … kan “ndak ilok” ?, “nggak pantes” kalo dilihat orang ?.  Tapi begitulah yang namanya adat setempat.

Saya tidak tau apakah kebiasaan ini masih berlangsung sampai saat ini atau tidak.

Namun inti pelajarannya adalah … kita harus belajar mengenai filosofi yang mendasari kebiasaan tersebut. Jika akan melaksanakan perhelatan … harus disesuaikan dengan kemampuan.  Jangan sampai besar pasak dari pada tiang !!!.

Satu dua implementasi memang mungkin perlu ada penyesuaian disana-sini … namun yang namanya nilai luhur / filosofi yang baik saya rasa harus tetap dipegang teguh …

.

Bagaimana menurut pengalaman pembaca sekalian ?
Adakah kebiasaan / adat / aturan yang dulu pernah anda alami ketika menikah dulu ?
Apa anda tau filosofi – pelajaran dibalik aturan adat tersebut ?

.

(Husni terima kasih telah menginspirasi tulisan ini …)

Salam saya

71071D338183D7765E8404E3E942AEC9.

.

.ilus

.

Penulis: nh18

I am just an ordinary person who work as a trainer. who wants to share anything he knows ... No Matter how small ... No Matter how simple.

67 tanggapan untuk “GIFT AUDIT”

    1. Sama-sama Wan …
      Saya rasa adat di setiap daerah pasti unik …
      Yang terpenting adalah mempelajari filosofi dibalik adat tersebut

      salam saya Wan

  1. Filosofinya bagus Om
    Di tempat saya tidak ada acara buka kado disaksikan keluarga
    Tapi semua amplop/ kado/barang bawaaan (tahu,beras,gula, supermie, kue, dll) di catat.
    Pencatatan ini gunanya untuk membalas hal yang minimal sama ketika kelak si tamu punya hajat.
    Jangan sampai Jeng Ngatno datang dengan ngasih gula 3 kali, emak nanti membawa gula hanya 2 kg.
    Sebaiknya lebih, atau minimal sama agar tak “dirasani” shohibul hajat

    Saya sendiri sih tak menghitung saya dulu ngasih berapa mereka ngasih saya berapa
    Bagi saya, hajatan adalah syukuran, bukan bisnis he he he.

    Emak ngasih nasihat:”Kalau buwuh jangan banyak-banyak,Nak. Nanti kasihan mereka kalau harus mengembalikan,” ha ha ha ha.. Padahal saya tak pernah mempermasalahkan berapa yang mereka masukkan kedalam kotak.

    Waktu saya mantu, ada bupati yang nyumbang Rp. 8 juta. Lha mosok saya harus nyumbang dengan jumlah yang sama jika pak bupati mantu ?
    Duit dari Hongkong.

    So, lain lubuk lain ikannya, lain meja lain jajannya, lain penyanyi lain goyangnya.
    Lak ngoten tah Om

    Terima kasih, ini pengetahuan baru bagi saya

    Konon ada suatu daerah yang mengumumkan sumbagan dari tamu yang hadir, pakai pengeras suara lagee…..
    Salam hangat dari Surabaya

    1. Betul pak de …
      Adat mungkin bisa berbeda-beda ya Pak De …
      Namun kita harus pelajari nilai-nilai filosofis dibalik tindakan-tindakan tersebut …

      Salam saya Pak De

  2. idealnya memang resepsi yang diadakan tidak besar pasak daripada tiang, ya om. cuma kadang saya sekarang suka bertanya-tanya dengan orang yang mengadakan hajatan dengan sangat meriah. itu duitnya pakai utang nggak? kalau soal hajatan orang menikah, saya lebih setuju acaranya sederhana saja. anggaran yang tidak perlu, dipangkas. misalnya, nggak usah pakai suvenir, kalau uangnya bisa untuk yang lebih penting.

    btw, tahun 93 saya sih sudah lahir, om. kalau zaman itu sudah ada blog, kali saya sudah ngeblog om. hihi.

    1. Hahaha … bisa aja kamu …
      Betul sekali Kris … kan lebih baik uang untuk hal yang kurang perlu itu … bisa digunakan untuk DP rumah ya Kris … atau bahkan modal usaha …

      Salam saya Kris

  3. Bookmark ah ide tulisannya..

    Di kampung saya agak mirip om.. Namanya “telitian”, setiap amplop atau beras yang masuk dicatat, dan kelak itu akan menjadi seperti “hutang” bagi yang punya hajat, agar membayarnya kelak jika si pemberi berhajat juga…

    Salam,

  4. ya, memang filosofinya begitu. waktu nikah – meski tidak dengan adat minang- kami juga melakukannya. namun tidak didepan sanak keluarga. cukup kami berdua dan ayah ibu saja. dan auditpun dilakukan. Karena rasanya ya, ra ilok.

  5. Kalau aku menikah ala Jepang-Indonesia.
    Sudah ditetapkan “iuran”nya hanya 10.000 yen (ini melegakan undangan karena biasanya 30.000 yen, karena itu orang Jepang tidak suka diundang hehehe). Itu adalah jumlah yang sama dengan makanan yang disediakan untuk tamu oleh hotel yaitu 10.000/person. Jadi mereka bayar makanannya sendiri ceritanya. (Biaya lain tentu tanggungan kami)

    TAPI tentu ada yang kasih lebih, dan ini yang kami catat, untuk kemudian “mengembalikan” dalam bentuk kado/gift card seharga SETENGAH dari apa yang kami terima. Jika orang itu memberikan 15.000 berarti lebih 5000, dan kami harus membelikan sesuatu seharga 2.500 yen. Prinsipnya adalah setengahnya harus dikembalikan. Dan ini berlaku untuk semua hadiah (bukan hanya nikah, tapi melahirkan dan kematian). Tapi kalau hadiah ultah dsb ya dikembalikan waktu dia ulang tahun seharga yang sama. Itu perlunya dicatat.
    Jadi kalau seperti kata pakdhe ada orang kaya yang kasih 8 juta, ya setengahnya disisihkan utk dibelikan sesuatu, “dikembalikan”.

    Aku lahir sebagai orang Indonesia yang menganut “tanpa pamrih” jadi agak shock dengan kebiasaan ini. Tapi namanya juga kebudayaan ya harus diikuti saja. Filosopinya : tidak mau memberatkan semua pihak.

  6. Biasanya kalau urusan seperti ini, yang repot kaum emak-emak Om He, he,,, he,,,,
    Kalau terpancing dengan pola konsep seperti ini, jadi keluar dari tujuan niat awal kalau memang acara tersebut merupakan pengejwantahan untuk selamatan dan niatnya shodaqoh. he,, he,, he,,,

    Salam,

    1. Yang jelas …
      waktu itu … seluruh keluarga concern dengan hal ini …
      intinya … jangan sampai memalukan keluarga besar ..
      buat perhelatan yang sesuai dengan kemampuan
      Tidak berhutang itu lebih terhormat dibanding melakukan perhelatan besar-besaran tapi akhirnya sengsara karena hutang …

      salam saya Pak Indra Eja

  7. Filosofi adat? Sesuatu yang gak pernah aku pikirkan sebelumnya hahahah aku sih pengennya nanti pernikahan ya beradat tapi bebas dari aturan adat (aku sendiri belum menikah, mimpi aja boleh dong? heheheh). Ambil yang baik dan buang yang gak ku inginkan hahahaha. Aku harus merestart ulang otak ku kalau begitu dan mengisi soal filosofi yang harus dipikirkan. Nice info om. 🙂

    1. Ya … ambil yang baik …
      jika memungkinkan buat sedikit “fine tuning” namun inti pelajaran/filosopi yang baik dan masuk akal … tetap dijunjung ..

      Salam saya

  8. Perbedaan adat kebiasaan memang seringkali menimbulkan rasa “aneh” bagi yang tidak biasa melakukannya. Akang sendiri mengalaminya tapi sebelum menikah sudah di-koordinasikan dulu jadi nggak kaget 🙂

    1. Ya …
      Waktu itu Istri saya tidak memberi tau saya …
      karena dia sendiri juga tidak tau … hahaha …
      jadilah kita berdua terlongong-longong

      Salam saya Akang

  9. Itu sampai berapa jam tuh, Om? Apa gak pegel yak? Kesian kan mantennya, mustinya ada agenda lainnya yang lebih penting, jadi tertunda. 😛

    Adatnya macam-macam memang ya soal pernikahan. Katanya ada juga kado atau amplop dicatat dan dilihat siapa yang ngasih, terus agar nantinya “dikembalikan” ketika yang ngasih mengadakan hajatan.

  10. Kalo di Sunda adatnya sih, pihak perempuan yang mengadakan dan membiayai hajatnya Om, sedangkan pihak lelaki hanya memberikan seserahan aja, berupa barang & uang juga sih.

    Tapi aku dan abah menganut paham modern, jadi sebelum menikah kita sepakat bikin budget dulu. Anggaplah 10 juta trus kita sharing aja fifty-fifty, murni duit sendiri dan gak repotin orang tua.

    Sehingga ketika bongkar amplop, uangnya bisa dipake depe rumah karena nikahnya gak pake utang…hihihi…

  11. *manggut2*
    Oooh begitu ya, ada filosofinya toh. Ini baru saya tahu.
    Kalo saya dulu sama suami (nikah 1999, sudah banyak yang ngasih amplop tapi masih banyak juga kado), kadonya dibuka berdua saja om.

  12. Om NH segolongan masyarakat terpilih di Indonesia sekarang acara buka kadonya harus bareng-bareng dengan petugas KPK lho …. semua ditaksir nilainya dan dicatat .. dan indahnya kalau ada kado yang nilainya lebih dari satu juta rupiah akan diamankan untuk dilakukan verifikasi terlebih dahulu … yang pasti proses verifikasi cukup lama dan kalau tak terkait hal-hal yang mengejutkan semua akan dikembalikan utuh …

    Jadi harap maklum kalau golongan ini sekarang benar-benar pilih tidak terima kado apapun, baik berupa barang ataupun uang ….

  13. kebetulan saya dan istri sama sama dari jawa tengah tapi memiliki sedikit perbedaan dalam gift audit ini. jika ditempat istri pada saat pernikahan kami ada istilah penerima, selain dari pihak mempelai ada keluarga yang bisa menamakan sebgai penerima acara. jadi kalao menyebarkan undangan sambil menyampaikan bahwa penerimanya adalah a, b, c dan mempelai.
    ketika menghitung gift ini dihitung bersama-sama dan dibuka bareng2, mempelai harus ikut menyaksikan sampai jam 3 pagi 😀 malahan. semua pemberian dicatat dalam buku masing2 dan hasilnya diberikan ke a, b, c dan mempelai sesuai catatan pemberian, aneh juga menurut saya kenapa malah jadi hutang ya hehehehe tapi ada niat baik yaitu hutang silaturahminya.

    1. Waahhh …
      Saya baru tau nih …
      ini artinya keluarga pengundang itu ada beberapa ya … a b dan c …
      selain dari keluarga kedua mempelai

      Salam saya

  14. saya sampai sekarang masih tidak mengerti..kenapa adat istiadat tersebut masih dipakai..? apakah nantinya tidak menjadi bagian yang menyulitkan bagi salah satu pihak..? tapi nice share..terima kasih om atas sharenya.

    1. Yang jelas …
      filosofinya saja yang kita ambil … yaitu : jika mengadakan perhelatan jangan sampai “besar pasak daripada tiang”
      pengejawantahannya saya rasa diserahkan pada masing-masing bagaimana sebaiknya

      salam saya

  15. Jadi ingat cerita pakde yang pernah tinggal di Balikpapan. Waktu itu disana pakai sistem amplop, dan malunya dibuka di depan tamu dan diumumkan berapa rupiah dan dicatat….waduhh kata pakde malunya itu. Syukurlah karena beliau kerja di perminyakan dan itu pernikahan anak buahnya, beliau memberi kado yang lumayan cukup besar.

    Kalau di Jakarta ini di audit, pasti tak ada nama saya…karena saya selalu memberikan uang dalam amplop tertutup tanpa nama…supaya pengantin maupun orangtuanya tak merasa berhutang budi. yang penting mereka tahu saya datang dan memberikan doa restu.

    Saya inget istilah alm ibu…..”ketindihan” …yang artinya kalau kita ketindihan, maka kita wajib datang jika ybs punya gawe.

  16. dulu saya nikah lebih keadat melayu riau, cuma banyak keluarga dari medan (tapanuli) yang datang jadi .malam hari sebelum saya akad nikah besoknya dibuat acara adat yg saya juga gak tau namanya
    saya didudukan ditengah2 keluarga Om.. jadi seluruh keluarga yang datang itu masing-masing nyalamin saya sambil ngasi kado dan nasihat..
    kadonya beda2 sesuai nasihat mereka (bahkan ada yang ngasi nasihat sambil nyanyi batak gitu ) ada yg ngasi “beras” trus bilang ini nak kau kubekali beras jadi nanti kalo jadi istri harus pandai2 menjaga dapur keluarga, trus ada yang ngasi kain ulos… katanya dalam bekeluarga harus ingat adat keluarga, ada yang ngasi seperangkat piring gelas…. , ngasi mesin jahit dan benang2nya, dll
    nah setelah selesai ngasi kado dan wejangan, semua kado harus saya masukkan kedalam ” kapal-kapalan” yaitu kotak besar yang dihias seperti kapal… udah itu saya dinasihati uwak (tetua) pakai bahasa batak lagi.. yang intinya…. mereka mengizinkan saya “berlayar” besok dengan memberi bekal yang bisa mereka kasi…

    wahhh saya sampai nangis sedih Om karena seperti betulan aja mau berlayar… ^_^
    kayaknya saya bisa posting tentang hal ini ya Om sekalian nampangin photo kapal nya… salam

  17. waktu sahabat orang cina nikah, di depan buku tamu ada kode, dan amplop kita dikodein gitu, ku sampe tersinggung.. ternyata ada maksudnya.. bukannya pamrih ato gimana, emang udah adat mereka begitu..
    waktu adik-adik menikah mendahului ku juga belajar.. ternyata bener itu biar ga besar pasak dari tiangnya.. diusahakan menikah itu membahagiakan bukan abis nikah terus mikirin utang.. begitu ku menikah, ku ga tahu berapa sih duit saweran yang ku terima, semua ku serahkan ke mama saja.. ga dihitung di depan semua orang kog, cuma mama dan adik-adik yang hitung.. dan ku ga mau tahu berapa.. pokoknya waktu nikah, pake duit suami.. ga ada pesta rame sih, cuma akad terus makan-makan sekeluarga dan sahabat juga tetangga..

      1. kode nomor om.. kaya ku tulis di buku tamu, ada nomornya, dan di amplop dikasih nomor juga.. iya ada filosofinya juga, kali persis di sungai penuh.. sungai penuh indah sekali, pernah kesana dulu..

  18. Ada adat yang lebih ekstrem yang pernah saya dengar, pada saat acara perhelatan begitu tamu menyerahkan amplop langsung dibuka dan di umum kan, “Si fulan menyumbang xxxx ribu rupiah” pakai corong toa mengumumkannya.
    Btw waktu baralek gadang dulu ada yang nyanyi “malam bainai” gak ya?

    1. Saya belum pernah dengar yang diumumkan secara eksplisit seperti itu …

      Mengenai malam bainai ? Oh tentu saja ada … ini lagu wajib Baralek … hehehe

      Salam saya

  19. pas acara resepsi dirumah suamiku…, keluarga nya juga nyatet.. dari ini.. berapa dari itu berapa…, tapi tujuannya kalau sang tamu punya acara bakal diamplopin sma atau di lebihin..gitu… 🙂

  20. Kebiasaan gift audit nggak ada di tempat saya Om Nh. Saya baru dengar malah yang seperti ini..ya budaya kita memang kaya ya. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya.

    1. Iya Bu …
      terus terang pertama kali saya mendengarnya … agak terkejut juga saya …
      tapi setelah diterangkan maknanya …
      sayapun memahami

      salam saya Bu

  21. Wah Om NH ini urang sumando juga. Hehheee.
    Sungai Penuh itu di Jambi kan, bukan di Padang, oo iya di Sungai Penuh banyak juga orang Minangnya..
    Soal kado jaman sekarang minim, pada minta nomer rekening. Hhehee

    1. Betul Mas Gie … Saya rang Sumando … hehehe …
      Sungai Penuh itu masuk propinsi Jambi … namun karena berbatasan dengan Sumatera Barat, banyak sekali komunitas Minang di Sungai Penuh

      Salam saya Mas Gie

  22. Seharusnya sih disesuaikan dengan kemampuan saja Om walaupun tetap harus mengikuti adat dan budaya setempat.
    Saya pribadi tidak begitu setuju dengan acara royal seperti itu, namun kadang kita kalah dengan pendapat para sesepuh yang mengatakan mengumpulkan keluarga besar. Kalau dipikir ya memang benar, namun lagi-lagi semua disesuaikan dengan budget.

  23. Kalo di kampung saya juga ada acara buka kado kek gitu, Om. Meskipun sekarang sudah jamannya ngamplop, tetep masih banyak juga yang ngado. Tapi kami gak pernah ngitung2 harga kado. Kecuali duit di amplop, baru deh diitung 😀

  24. Pada era kado, di daerah kami kado dicatat untuk menghindari putar balik… maksudnya kado yang kita terima seringkali kita gunakan untuk memberi kado pada acara lain. Selalu diupayakan saling saling kan berabe bila sahabat yang menerima kado kita berujar “lah koq mbalik ke saya lagi….” Salam

  25. waktu aku nikah gak ada pake hajat hajatan om (atau akunya yang gak tahu yak, hehehe). Tapi kalau orang melayu beneran mungkin ada kali yang pake adat

  26. Aku malah bacain komen-komennya juga. Beda-beda ya adatnya. Pernah tanteku nikah, kalau kado sih yang buka tante sendiri. Kalau amplop, yang buka sodara-sodara sama ponakan-ponakannya, hihihi~

  27. Saya juga mengalami acara buka kado tersebut, Om.. Tentu masih ingat dengan tulisan saya tentang “teflon” bukan?
    Filosofi yang Om sampaikan tersebut saya sangat setuju..
    Dan itu pulalah yang saya rasakan hingga saat ini, makna dari pemberian kado dahulu itu..

any comments sodara-sodara ?