PIALA BERGILIR


Piala
(bukan piala bergilir sebenarnya) (ini untuk ilustrasi saja)

Ini cerita tentang “piala bergilir”.

Saya tidak tau apakah hal ini masih ada di zaman sekarang atau tidak.  Namun dulu ketika saya masih kuliah, teman-teman saya terutama yang wanita satu persatu mulai disunting oleh calon suaminya.  Menikah, memasuki jenjang selanjutnya dalam siklus kehidupan mereka.  Ini terjadi ketika kami sudah menginjak semester-semester akhir perkuliahan.  Melihat hal tersebut akhirnya kami sekelas mempunyai ide untuk membuat semacam piala bergilir.   Sebut saja piala bergilir pernikahan.

Piala bergilir tersebut diserahkan kepada teman kami yang sedang melangsungkan acara pernikahan. Kami akan beramai-ramai datang ke pesta – walimahan pernikahannya lalu secara resmi piala tersebut diserah-terimakan kepada mempelai disaksikan oleh para hadirin. Ramai. Meriah. Membahagiakan.  Silaturahmi yang hangat.

Sebelum diserahkan, di badan piala tersebut akan digrafir nama teman yang menikah.  Contoh :

  1. Aan Suana
  2. Bebi Bala-bala

Jadi ritualnya adalah kami semua akan berkumpul di panggung. Lalu Aan sebagai pemegang piala bergilir sebelumnya akan menyerahkannya kepada Bebi, sang pengantin baru.  Nanti jika ada undangan pernikahan teman kami yang lain lagi, misalkan namanya Caca, maka Bebilah yang bertanggung jawab untuk meng-grafir nama Caca dan menyerahkannya kepada mempelai, di acara penikahan Caca. Demikian seterusnya.

Tujuan upaya ini tak lain dan tidak bukan adalah untuk tetap menyambung tali silaturahmi pertemanan dan kekeluargaan diantara kita para alumni satu angkatan perkuliahan.

Namun demikian … ternyata prosesnya tidak se”mulus” yang kita duga.

Kami satu angkatan itu jumlahnya ada 150-an lebih mahasiswa-mahasiswi.  Pernikahan teman kami yang pertama, kedua, ketiga sampai ke lima, ke enam ritual ini relatif lancar jaya.  Karena kebetulan sebagian besar dari kami masih menyelesaikan studi di Bogor.  Masih relatif berkumpul di satu kota.  Jadi masih mudah menkoordinasikannya.  Namun ketika kami lulus, tentu saja kami mencari nafkah sendiri-sendiri.  Ada yang bekerja di dekat-dekat Jabodetabekasergon sini saja.  Namun banyak juga yang kembali ke kampung halamannya masing-masing.  Nun jauh di ujung Nusantara sana.  Dari propinsi Nangroe Aceh Darusalam sampai Papua.  Ini masalah tersendiri sodara-sodara.  Ya komunikasinya … ya logistiknya.

Yang pegang piala bergilir sekarang misalnya Foni tinggalnya di Ambon.  Lalu yang menikah berikutnya adalah Gamal, tinggalnya di Lhokseumawe.  Naaahhh ini … tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit bagi Foni untuk membawa piala bergilir tersebut khusus dari Ambon terbang ke Lhokseumawe. Akhirnya kami ambil jalan tengah, Foni tidak perlu datang ke Lhokseumawe.  Dia cukup mengirimkan piala tersebut lewat paket saja (tentu setelah terlebih dahulu di grafir nama Gamal di piala tersebut)

Masalah pertama, mengenai lokasi geografis teratasi.  Namun ada masalah yang lain lagi.  Ada satu dua kejadian dimana teman kami menikah tetapi karena kesulitan informasi, lost contact, data tidak up date atau sulit berhubungan jadi terlewat begitu saja.  (Ingat jaman dulu internet belum ngetop seperti sekarang, belum ada HP apalagi social media FB, WA dsb).  Contohnya ketika teman kami Harun, lalu Ina, lalu disusul Joko menikah kami semua tidak tau.   Gamal sebagai pemegang piala bergilir yang terakhir pun tidak tau. Akhirnya nama Harun, Ina, dan Joko terlewat tidak tergrafir.  Baru kemudian ketika teman kami yang lain, Koni menikah, piala tersebut baru diserahkan Gamal langsung kepada Koni.  Kebetulan rumah Gamal di Bogor dan rumah Koni di Jakarta.  Dekat.  Mudah komunikasinya.  Mudah logistiknya.

Ada juga peristiwa lucu, dimana piala bergilir itu hanya berumur beberapa jam saja di satu tangan.  Hari ini diserah terimakan dari Koni ke Leli.  Besok Leli harus sudah menyerahkannya kepada Momon. Karena tanggal pernikahan Leli dan Momon cuma berbeda satu hari.  Nasib si Leli, piala belum terpajang di rumah, sudah harus terbang lagi.

Jadi demikianlah … cerita tentang piala bergilir pernikahan.

Memang tidak mudah menjaga silaturahmi, hubungan pertemanan diantara 150 orang teman satu angkatan.  Sebab kita semua sudah tersebar kemana-mana.  Bahkan banyak yang belajar ke luar negeri juga waktu itu …

Sekarang bagaimana nasib Piala Bergilir itu ? Apa masih ada ? atau jangan-jangan sudah berkarat ?

Saya tidak tau. Piala Bergilir itu kini berada dimana.   Siapa yang pegang piala tersebut terakhir pun juga saya tidak tau.  Sudah lama sekali.  Hampir semua dari kami satu angkatan, sudah menikah.  Usia perkawinan kami pun hampir sebagian besar sudah diatas 20 tahun …

Dan ironisnya adalah …
Saya sama sekali TIDAK sempat merasakan memegang Piala Bergilir tersebut.  Karena ketika saya dan bundanya anak-anak menikah, tidak ada teman kuliah saya yang datang.  Kami menikah di sebuah kota kecil di perbatasan Jambi dan Sumatera barat.  Di kaki Gunung Kerinci.  Saya pun tidak tau saat itu piala bergilir siapa yang pegang.  Hahaha … jadi kelewatan deh saya … nasiiibbb … nasiiibb …

Nah sekarang saya ingin bertanya …
Adakah tradisi seperti ini tempat anda ? di teman seangkatan anda ? teman satu gank ?
Bentuknya apa ? apakah piala ? atau prasasti ? atau piring perak ? atau apa ?

Boleh sharing yaaa … !

Salam saya

71071D338183D7765E8404E3E942AEC9.

.

.

.

Penulis: nh18

I am just an ordinary person who work as a trainer. who wants to share anything he knows ... No Matter how small ... No Matter how simple.

35 tanggapan untuk “PIALA BERGILIR”

  1. Saya tidak pernah ngalami ini Om. Karena kebetulan yang beginian tidak ada di lingkungan saya, di pesantren.. 🙂
    Pernah denger sih, dari teman. Cuma detailnya mungkin sama dengan pengalaman Om ini.

    Salam..

    1. Buat aja …
      Tapi pesan saya … jangan terlalu banyak audiencenya …
      paling pol 50 orang. lebih dari itu … puyeng koordinasinya …
      hahaha

      Salam saya Zulfa

    1. Kalau sekarang malah lebih mudah kumpulnya …
      info cepat tersebar dengan merata. Kita punya group WA
      pun bisa sharing foto dan info lewat media sosial lainnya.
      Secara ekonomipun Alhamdulillah baik. Sehingga satu dua kali teman yang jauh-jauh dapat ikut kumpul reunian.
      Lebih mudah. Sekarang yang lagi ngetrend adalah … Undangan Teman yang menikahkan anaknya.
      Temen-temen saya udah pada mantu … (hahaha)
      salam saya Niar

  2. Ada Oom, tapi tidak satu kelas… hanya satu kelompok teman saja. Kebetulan seorang teman pintar membuat manga, dibuatlah foto kami di studio jadi versi manga… Nah, yang versi manga ini kemudian diserahkan kepada tukang “plakat” pinggir jalan… bahannya : kardus bekas + cat air warna warni… keren!

    Sayangnya sama seperti Oom… ada yang gak kebagian, yaitu teman setelah saya… soalnya saya keburu pindah ke luar kota dan sulit hadir di nikahan teman…

    tapi alhamdulillah, sampai sekarang masih kontak lewat whatsapp atau kumpul bareng… buat foto2 lagi tentunya 😀

  3. Saya punya tradisi ini. Kebetulan jumlah temen seangkatan nggak terllau banyak, sekitar 25 saja. Saya sendiri lupa dapet giliran ke berapa.. hihihi.

    Tapi emang selalu ada aja kejadian lucu, pernah ada temen kami yang mengira bahwa piala itu adalah hak yang menikah alias diberikan kepada yang menikah. Akhirnya ada temen saya yg sengaja nungguin di rumah temen saya yang megang piala bergilir itu untuk diambil lagi…

    Salam kenal, ya… jangan lupa mampir ke blog saya… http://www.anggianirifani.blogspot.com

  4. waaah…ngebaca ini, saya jadi teringat kisah teman yg jg pny piala bergilir. tapi lupa…dia anak mana, ya? anak its, mgkn. iyaa ya piala bergilir seru abis. kalau saya n teman2 seangkatan gk pny kbiasaan bgini. paling2 cm datang dan ikt bntu jadi penerima tamu aja

  5. hehehe ada! Sastra Jepang angkatanku CUMA 23 orang.
    Tapi aku ngga pernah LIHAT apalagi ngerasain piala itu juga karena kendala lokasi,
    meskipun aku termasuk yang paling akhir nikah 🙂
    Yang kasihan yang tetap single, namanya tidak ada di plate grafiran 🙂

  6. Saya punya temen di pabrik, dari kampus U**IP melakukan seperti itu. Piala bergilir ini sepertinya masih tetap lestari. Mereka tidak kehilangan teman-temannya

  7. temanku juga ada yg seperti itu Om, piala bergilir…jadi pialanya harus dirawat nggak boleh ada yg cacat sedikitpun, ntr kalo ada temannya yg mau nikah piala itu akan diberikan dan seterusnya begitu…

  8. Konon, perwira dari AMN tahun sekian pernah membuat piala seperti itu.
    Asyik kaleee ya penerima piala pertama dan terakhir.
    Semoga tidak ada jomblo permanen
    Salam hangat dari Surabaya

  9. Saya pernah dengar piala bergilir waktu sepupu saya menikah kebetulan dari Jakarta. Pialanya tinggi dan besar sekali seperti sudah menang lomba juara pertama saja. Mereka mendapat giliran dari teman-teman kuliah, tapi sayangnya ya namanya bergilir saat ada giliran temannya yang menikah langsung kecewa melepas piala zumbo itu. hehe
    Sepupu saya bilang kenapa nggak nikah terakhir aja ya biar dapet piala itu. 😀

    Sayang juga kalau zaman sekarang sudah jarang mendengar tradisi itu 😀

  10. Waaah nostalgia banget Om kalo bahas piala bergilir ini. Maksudnya njenengan sih yang bernostalgia karena di angkatan saya kuliah tidak ada. Huehehehe. Kalo angkatan istri saya (yang beda kampus dan beda jurusan) kayaknya ada. Hehehe.

  11. Saya mah malahan ngga kenal “tradisi” begini Oom… hehe

    Tp cara yang ciamik untuk menjaga tali silaturahmi jaman dulu..ciiee jaman duluuu kaya anak kemaren sore aja saya nih hehe

  12. sebelum nikah, saya pernah lihat pernikahan yang ada piala bergilirnya. Trus sempet ngebahsa sama teman se-genk. Dan, kita berencana mau bikin hal yang sama. Tapi, sampe semuanya udah menikah, keinginan itu tidak pernah diwujudkan 😀

  13. Seruu banget Om 🙂 kalo akang cuma ngadain arisan aja buat memberi hadiah pernikahan teman seangkatan. Itu juga paling hanya berbentuk emas. Jadi biarpun nggak bisa datang yang penting transferannya yg datang :mrgreen:

  14. Hehe…pengalaman yang unik dan lucu. Kalo saya gak pernah punya pengalaman yang serupa Om. Kalo baca artikel ini waktu masih bujang mungkin saya bikin ide yang sama 🙂

  15. Waktu abang kedua saya menikah, dia dapat nih piala kayak begini 🙂 Tapi kalo di teman-teman kuliah seangkatan saya, malah gak ada tradisi seperti ini..Paling tradisinya naik panggung rame-rame untuk foto bersama 🙂

  16. Saya pernah, Om.. Bahkan, saya yang pertama menerimanya..

    Semasa jadi guru di pesantren di Duri dulu, kami ada 12 orang. Dari kesembilan orang tersebut, saya yang pertama kali menikah. Sebagai kado, teman-teman tersebut memberkan piala, persis seperti yg Om ceritakan. Piala itu kemudian kami pergilirkan. Tapi sayang, hanya sampai pada orang kelima saja. Sebab, kami sudah tersebar ke berbagai daerah, bahkan ke luar negeri, sehingga sulit untuk meneruskan tradisi ini lagi.. 🙂

  17. Unik ya Om. Benar-benar cara yang tepat untuk tetap menjaga silaturahmi… Saya dan teman-teman kuliah sih tidak terpikir seperti itu hahah, ya mungkin beda budaya di sini, udah gitu pada nge-gap juga, jadi kalaupun ada piala bergilir, pastinya gak sebanyak gengnya Om ya..

  18. Kreatif banget om idenya! Ini kalo difilm-in seru kali yaaa, ada yg ketinggalan, ada yg dikirim via pos segala. Btw salam kenal om NH 🙂

  19. Baru juga mau tanya om dapet gak.. Eh ternyata gak toh. Hahahaha..

    Aku gak ada kayak ginian om.. Temen satu angkatan juga gak semuanya bisa ngadirin pernikahannya.. Padahal satu angkatan cuma 40an.. Jadi malu..

any comments sodara-sodara ?