ANJUNGAN TUNGGU


(sebuah fiksi) 

Ini cerita tentang ibu Azizah dan anaknya Hafiz. 
Ibu Azizah adalah seorang guru yang mengajar di suatu lembaga Pendidikan anak-anak Pra-Sekolah.  Biasa disebut Play Group atau Kelompok Bermain.

Hafiz, adalah putra tunggal Ibu Azizah berusia 5 tahun.  Masih TK-B.  Dia bersekolah di suatu TK kecil dan sederhana.  TK tersebut lokasinya sangat dekat dengan Kelompok Bermain tempat ibunya bekerja.  Meskipun berdekatan, kondisi TK sederhana tempat Hafiz bersekolah sangat berbeda dengan tempat ibunya mengajar.

Kelompok bermain tempat Ibu Azizah mengajar … mempunyai fasilitas yang lengkap.  Ruang bermain yang full Air Conditioned.  Dilengkapi dengan sarana belajar sambil bermain yang sangat komplit.  Berkarpet tebal.  Dengan Mainan edukasi yang banyak.

Bukan itu saja, sarana bermain di halaman luarnya pun juga sangat bagus, rapi dan lengkap.  Berwarna-warni meriah, sangat mengundang hasrat anak-anak untuk bermain disana.  Semua dirancang khusus dengan tingkat keamanan dan keselamatan yang sesuai untuk anak usia pra sekolah.  Ayunan, jungkat-jungkit, perosotan, komidi putar kecil, sarana bermain bak pasir, balok keseimbangan, rumah-rumahan dari plastik tempat anak-anak biasa main tak umpet dan sebagainya.  Semua terbuat dari bahan bermutu tinggi, dan import pula. 

Nun di bagian pojok halaman depan disediakan pula Anjungan Tunggu terpisah.  Untuk tempat istirahat para Sopir, Suster atau Mbak Pengasuh yang mengantar murid-murid.  Tempat dimana mereka biasanya berbincang dan bersenda gurau, sambil menunggu para tuan-tuan dan nona-nona kecilnya … majikan mereka.  Satu dua kali ada juga beberapa Ibu muda yang menunggui anaknya disana.

Jadwal waktu pulang sekolah TK Hafiz biasanya lebih awal dibanding waktu mengajar Ibu Azizah.  Sehingga sepulang sekolah, biasanya Hafiz akan mampir dulu ke tempat kerja Ibunya dan menunggu Ibu Azizah selesai mengajar … untuk nantinya bersama-sama pulang ke rumah.  Ibu Azizah tidak punya mbak pengasuh untuk Hafiz.

Wah asik dong … Hafiz jadi bisa ikutan bermain gratis di Kelompok Bermain itu, sambil menunggu Ibunya bukan ???

Jawabannya SALAH … !

Hafiz TIDAK diperkenankan oleh Ibunya untuk masuk ke sekolah tersebut.  Bahkan untuk sekedar bermain di halaman luar dengan ayunan, perosotan, jungkat-jungkit, rumah-rumahan plastik itupun juga tidak boleh.  Hafiz hanya diperbolehkan menunggu di Anjungan Tunggu itu, tempat dimana para Sopir, Mbak Pengasuh dan Suster berada. 

Tidak jarang, Hafiz hanya menatap nanar seluruh fasilitas warna-warni yang terpampang tepat di depan matanya itu.  Yang terpasang megah di halaman luar itu.  Dia hanya bisa duduk diam termangu.  Tangannya memegang terali pagar setinggi badannya, yang memisahkan Anjungan Tunggu dan Halaman Kelompok bermain tersebut.  Kepalanya pun kadang bersandar di sela-sela terali … Entah apa yang dipikirkannya.

Para Mbak dan Suster disana sudah hafal dengan pemandangan ini.  Awalnya mereka merasa “trenyuh” dan kasihan pada Hafiz.  Namun lama-kelamaan mereka mengerti juga mengapa Ibu Azizah berlaku seperti itu.  Dan mereka, para Mbak dan Suster Pengasuh itu biasanya berinisiatif mengajak si Hafiz bermain dan bercanda.  Sekedar untuk mengalihkan perhatian anak itu pada jejeran permainan keren nan menggiurkan itu.

Ya … Memang Ibu Azizah melarang Hafiz untuk menyentuh semua sarana mainan tersebut.  Ibu Azizah selalu menekankan pada Hafiz kecil, dengan bahasa sederhana yang mudah dimengerti anak-anak tentunya …

”Hafiz anakku sayang … kita tidak berhak menggunakan semua mainan-mainan itu.  Itu bukan milik kita nak … Itu bukan hak kita … Itu adalah hak teman-teman Hafiz, yang sudah membayar mahal untuk bersekolah di sini … nanti kalau mainan-mainan itu rusak … kan kasihan teman-teman Hafiz itu tidak bisa main lagi … ”

”Hafiz nanti main di rumah sama Bunda saja yaaaa … Nanti Bunda akan temani Hafiz … kita bermain apa saja yang Hafiz mau di rumah … dengan mainan yang Hafiz punya … sepuasnya … ”

Dan lama-kelamaan Hafizpun (sepertinya) mengerti
Hafiz patuh pada Ibundanya … dia tak menyentuh satu pun sarana bermain tersebut … walaupun sarana tersebut sudah kosong … tidak ada lagi yang memainkannya …

Hafiz tetap menunggu ibunya dengan setia … di Anjungan Tunggu itu …

Begitu terus … Setiap pulang sekolah … Setiap hari …

Ya … namanya juga anak-anak … Sekali-sekala … masih diliriknya juga fasilitas menggiurkan yang terhampar di halaman sekolah ibunya itu …
Dengan pandangan sedemikian rupa …
Yang entah apa artinya …

Hikmah :

  1. Mengajarkan dan menegakkan mana yang Hak dan Mana yang bukan hak … kadang memang terasa pahit.  Tetapi harus dilakukan … sejak dini. 
  2. Demi kebaikan si Anak untuk masa yang akan datang … kadangkala orang tua harus bersikap … Tega.
  3. Dilema antara tugas dan keluarga … akan selalu terjadi.

Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Cermin Berhikmah di BlogCamp

Penulis: nh18

I am just an ordinary person who work as a trainer. who wants to share anything he knows ... No Matter how small ... No Matter how simple.

36 tanggapan untuk “ANJUNGAN TUNGGU”

  1. Suatu malam Hafiz sempat berkata pada Ibu Azizah …

    “Bunda … boleh nggak mainan-mainan yang Hafiz punya di kardus itu … Hafiz kasih ke sekolah Bunda … Biar murid Bunda … teman-teman Hafiz itu juga bisa ikut main … Hafiz nggak papa kok kalo maenan Hafid dipinjam sama mereka … “

    Dan ibu Azizah pun tidak bisa berkata apa-apa …
    Cepat-cepat memalingkan muka … sambil tergesa menyeka air mata … yang mengalir tiba-tiba …

      1. Entah kenapa, air mata saya langsung ikutan meluncur setelah membaca apa yang hafidz katakan di kolom komentar ini Oom.. luar biasaaaaaaaaaa…..

        pelajaran yang sangat indah dan tentu saja dalam maknanya…

  2. Perenungan yang sangat menyentuh, Om…
    Ada gemuruh di hati saya, begitu membayangkan Hafiz…
    Ah… mengapa tidak ada “kelonggaran” untuk anak guru?
    Meski ini fiksi, tapi saya tahu, ini banyak terjadi…
    Terima kasih, Om… ceritanya menghujam jantung saya

    1. Ingatan Bu Devi betul banget …

      Itu versi yang Bola Tenis mungkin Bu …
      Tokohnya sama … Ibu Azizah dan Hafiz

      Inti cerita kurang lebih juga sama … cuma mungkin dari angle yang sedikit berbeda

      Salam saya Bu

  3. Ceritanya sangat menyentuh om, tapi aktual masih ada yang lebih menyedihkan dari ini. Saya pernah mengalaminya dulu, kapan2 saya cerita meski ini cerita lama 🙂

    Best regard,
    Bintang

  4. Malem Om..
    Kasian banget Dede Hafiz,aku sebagai mama jujur sedih melihat pemandangan itu,.
    Tapi memang benar sebagai orang tua kita harus menanamkan pada anak mana yang miliknya dan yang bukan,biar anak mengerti,dan harus konsekuen sekali berkata TIDAK ya tidak..harus tega..!!
    Om teriris hati ku kalo melihat anak2 yang di tinggal ibunya bekerja,sedih,kasian..
    Aku aja bela2in berhenti kerja demi anak,hiks2..Sungguh Dilema..!!

  5. Mengajarkan hak dan kewajiban kepada anak sejak dini adalah pembentukan pola pikir yang baik di masa mendatang. Atas stempel komandang blogcamp JURI datang menilai. Terima kasih atas cerita kehidupan yang penuh hikmah. Salam hangat

  6. oM…CERITANYA KERENNNNNNNNNN!!!!!!

    seperti cerita nyata…. terlalu nyata…hahahahahah…
    ini calon juara satu kayanya… pokoknya traktir! 😛 *tengil.com

  7. Waktu kecil aku juga sering dilarang memegang /memainkan barang orang lain.
    Kesel juga waktu itu, tapi sekarang sudah mengerti dan menghargai barang yg bukan hak kita.
    Love this article, Om

  8. Hiks…hiks… mengharukan. Tapi memang kita harus tega mengajarkan kepada anak untuk tidak memanfaatkan fasilitas yang bukan haknya, sekalipun kesempatan itu ada. Nice post, Om, pasti menang niiyyyy 😀

  9. akhirnya si Om ikut KUCB 2011 juga.
    Betul sekali Om, meski pahit, meski kadang terkesan tega, dan meski dipenuhi dilema, mengajarkan yang hak dan bukan adalah satu keharusan yang semestinya ditanamkan pada anak-anak sejak usia dini.

  10. Hehe… pernah pula seorang ibu marah2 gara anaknya pengen pinjam mainan anak lain tapi gak diijinkan sama yang punya. Si ibu marahnya sama yang punya mainan itu lagi 😀
    Memang sulit mendidik anak 🙂

  11. pagi inyiakk… 🙂 🙂 🙂
    iya bener kadang orang tua harus tega,,
    tapi kasian juga ya…. 😀 😀 😀

    tapi sich ya kadang banyak juga kan yang kenyataanya kaya gini,,,
    anak..anak gak boleh ikut main,,cuma karena gak bayar ya..
    padahal mah gak ada salahnya kan ikut main..
    toh gak akan bikin rusak.. 😀

  12. Bu Azizah harus tega
    Hafiz juga hrs disiplin dgn aturan bundanya
    pasti Hafiz nanti menjadi anak yg hebat
    yg mampu membedakan mana yg hak dan yg bukan

    walaupun ini kisah fiksi, tetap saja membuat jantungku terhunjam mebayangkan Hafiz setiap hari hanya mampu memandang dari Anjungan itu……………. 😥
    tulisan yang sangat indah ,Mas Enha
    dan, kayaknya ini yang bakal jadi juara nya di KUCB……………
    salam

  13. Kalau kita menyayangi orang2 di sekitar kita terkadang memang harus tega dan tegas. Misalkan, kalau anak kita ga mau makan. Apakah kita diamkan saja mereka tidak makan?…..oh ..tentu tidak, dengan segala macam cara…kita akan membuat dia makan karena untuk membuat badan sehat…makan adalah kewajiban…..
    selamat ikut kontes semoga mendaptkan yang terbaik….

  14. Ternyata penting untuk mengajarkan hal2 yang benar dari sejak kecil ya. Kisah yang ditulis di sini bagus juga untuk masukan terutama bagi saya yg punya dua anak kecil lucu tapi nakal.
    Terima kasih telah berbagi ya

  15. sepakat. mengajarkan anak agar tidak menggunakan hak orang lain adalah salah satu cara untuk menghasilkan generasi jujur dimasa datang. Salam kenal om.

  16. Om, kebetulan Ibu saya dulu kepala sekolah TK ABA di Jogja.. yah, termasuk TK yang elit dan mahal bayarnya..

    kalo bisa, sebenernya saya pun bisa disekolahkan di situ…
    tapi ibu saya memilih untuk menyekolahkan saya di TK deket rumah..

    mungkin ibu sya menghindari dilema antara tugas dan anak… 🙂

    nice story Om..

  17. salutnya ama hafiz kecil..
    anak sekecil itu udah paham dan mengerti dengan kalimat yang diutarakan bundanya.
    biasanya anak seumuran itu ndak perduli meski sudah dilarang..

    nice om,hikmahnya yang didapat sangad berarti 🙂

  18. Sangat memahami perasaan sang Ibu Om,…
    Sebagai seorang emak emak…
    Merasa harus bisa konsisten
    Dan sebisa mungkin tidak double standard….
    Agar sang anak bisa memiliki integritas yang tinggi 🙂

    It’s a tough love Om 🙂

    Nice posting…
    Selamat mengikuti kontes nya Pakde ya Oooooom 🙂

  19. fiksi ni Om??
    Horee…si Om udah nggak angkat tangan dan bilang ‘pass’ lagi untuk membaca/menulis fiksi…. 😉

    Ceritanya bagus Om, dan salut sama ibu’nya Hafiz maupun kebesaran hati Hafiz..
    Sukses di kontesnya Pakdhe..
    Salam..

any comments sodara-sodara ?