.
Untuk Week end kali ini, saya akan menayangkan sekaligus dua postingan …
Karya Dua orang Narablog yang berbeda …
karsini # 27 dan karsini #28
Ini adalah karsini # 28
(baca juga karsini # 27)
simak tulisannya … tebak siapa pengarangnya …
————
Inner War
Perang opini antara ibu yang memilih bekerja kantoran dengan yang bekerja di rumah (yang sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga dan/atau sambil menghasilkan uang dari rumah) seakan tidak pernah selesai. Masing-masing merasa lebih baik. Bagi saya, perang itu memang benar-benar terjadi. Tapi bukan antara para ibu. Melainkan di dalam diri mereka sendiri. Perang batin atau INNER WAR yang selalu melanda perempuan yang sudah menyandang predikat IBU RUMAH TANGGA.
Jika seorang ibu sudah mengambil pilihan untuk menjadi seorang ibu rumah tangga sepenuhnya (bahasa kerennya FTM = Full Time Mother), tapi dia masih “terganggu” dengan stempel miring orang lain tentang pilihannya itu, bisa jadi dia memang belum mantap dengan pilihannya itu. Sebaliknya, jika seorang ibu memilih untuk bekerja di kantor
setiap hari, dan masih merasa “terintimidasi” melihat ibu-ibu yang bisa menunggui anaknya sekolah, mungkin dia pun masih setengah hati menjalani keputusan itu.
Bagaimana dengan saya? Sebelum menikah dulu, saya sering menghasut teman-teman yang sudah menikah agar mereka mau berhenti bekerja, KECUALI perekonomian keluarga memang tidak memungkinkan. Jika mereka bekerja hanya demi eksistensi diri, saya bilang, kenapa tidak menjajaki pekerjaan yang bisa dikendalikan dari rumah saja? Sambil mengawasi dan mendampingi anak-anak. Bukankah sebuah kemewahan tiada tara bila kita bisa melihat pertumbuhan anak-anak sendiri? Ada yang berhasil dihasut, ada yang tidak, Lumrah saja.
Tapi ada yang membuat saya tak habis pikir, Yaitu ketika seorang teman merasa keberatan untuk meninggalkan pekerjaannya, karena merasa sudah bersusah-payah menuntut ilmu, lalu setelah punya anak CUMA tinggal di rumah saja? Tahu gitu, mending dulu ngga usah kuliah dong gue, begitu katanya. Berarti menurut dia, menjadi seorang ibu tidak perlu sekolah tinggi. Kalau sudah sekolah tinggi tidak cocok jadi ibu rumah tangga SAJA. Jika sudah begitu, perkembangan selanjutnya, kalau sudah sekolah tinggi, ya tidak usah menikah saja, agar tidak usah repot mengurusi anak-anak. Fair , kan?
Menurut hemat saya, seorang ibu itu SANGAT PENTING punya pendidikan yang tinggi, karena anak-anak yang cerdas terlahir dari ibu yang punya pendidikan bagus. Garansi? Tidak juga sih! Karena ada juga yang saya lihat ibu-ibu yang punya pendidikan bagus, tetapi anak-anaknya tidak jadi apa-apa juga, sebab hobinya nonton televisi, ngerumpi dan segala sesuatu yang membuat dia senang saja. Ibu eksis, ibu narsis dan sosialita! Anak-anak cukup diperhatikan oleh pembantu rumah tangganya saja.
Idealnya, memang seorang ibu KALAU BISA bekerja dari rumah, tapi jika tidak memungkinkan ya bekerja di kantor pun tak apa, hanya saja tentukan pilihanmu dengan SEPENUH HATI dan IKHLAS. Pahami konsekuensi macam apa yang bakal dihadapi dengan masing-masing pilihan itu. Segala sesuatu yang dikerjakan dengan sepenuh hati, hasilnya pasti jauh lebih memuaskan daripada yang setengah-setengah. Setuju?
—————–
#ngangkatbenderaputih…
nyerah om… hehe
tulisannya kok beda warna gitu ya? atau mata saya yg aneh.. 😀
Seorang istri di rumah, itu keinginan saya.. 😀
smoga tercapai
aku sampai ke optik barusan,
periksa mata
kirain mataku yang salah
ga taunya memang beda2 ya warnanya?
*mijit kening mikir penulisnya – tapi gerah juga ga pernah bener hiks*
hahaha …
udah …
udah saya benarkan tuh …
Salam saya
Optik apaaaaaaaaaa? Wong minta suami nyebul mata yang klilipen gitzuuuuu kok
Klincipen (kata arek Suroboyo)
Maka saya berpendapat kepada mereka-mereka yang merasa rugi menuntut ilmu namun hanya di rumah saja, sebagai ibu rumah tangga.
Bayangkan, siapa yang tidak bangga kalau dia diajar oleh seorang profesor, doktor, atau magister di rumahnya sendiri. Itulah anak yang paling beruntung. Menjadi anak yang lebih hebat daripada anak sekolahan lain yang pendidiknya masih Sarjana.
Mbak Devi?
Heheheheh…soalnya topik ini adalah topik yang sering kami pikirkan dan diskusikan…
Cuman kok agak beda cara menulisnya?
Hmmm aku juga pikir kayaknya Devi Yudhistira nih….
waduh, jadi bingung mo ke rumah bangau apa ke rumah mba devi dulu yaaa ? *garuk2 idung*
Saya sebetulnya kurang suka dengan istilah “full time mother”. Istilah itu menunjukkan kalau menjadi ibu itu bisa setengah-setengah, bisa juga seratus persen. Padahal, menjadi ibu itu tidak ada yang namanya setengah-setengah, harus sepenuh jiwa dan raga. Mau si ibu itu berkarier di luar rumah atau tidak, dia tetap harus sepenuh jiwa dan raga mengurusi keluarganya. Sebab, keluarga, bukanlah sesuatu yang boleh diurus secara setengah-setengah, harus sepenuh jiwa dan raga, oleh ibu maupun ayah.. 🙂
Wah… kalau dibahas lebih jauh, ini bakal panjang… Insya Allah nanti saya buat postingan deh, hehe.. 🙂
Eh lupa, belum nebak penulisnya..
Ini adalah tulisannya Ridha Alsadi alias Bangau Putih, kan Om..? 🙂
emang clue nya apa Uda?
mau ke rumah bangau ah …. ada yg mo ikut?
Saya tunggu postingannya Uda….
Iya ya …
yen tak pikir-pikir …
bener juga ya …
nggak ada ya yang namanya Half Time Mother …
hhmmmm
Thanks Uda …
Setuju, Udaaa. TOP! Meski saya bekerja juga tapi saya seorang ibu 100% ! Mulai dari mandiin, nyuapin sarapan, nyiapin bekal sampai urusan belajar. Yang tidak bisa saya lakukan hanya mengantar dan menjemput sekolah, juga mandiin sore hari. Bahkan mau bobok pun mereka mencari saya. Dan saya juga menjadi sahabat buat anak-anak saya, terbukti jika ada masalah apapun mereka selaluuuu mencari saya.
I’m a working Mom, but I’m a 100% Mom! 😀
setuju sama uda
setuju dgn pendapat Uda… jd ibu emang hrs 100%..
mgkn istilah yg tepat Stay At Home Mom kali ya… *eh apa udah dibahas di komen2 bawah ya? belum baca.. ketinggalan sy Om..*
tapi udah ngintip jawaban penulisnya… tulisan mbak Nique
Hmm…semoga jika saya menikah & punya nanti, saya tetap bisa membagi waktu antara keluarga dan pekerjaan. Jika sekiranya saya tidak mampu untuk itu, lebih baik tidak menikah saja, mumpung belum terlanjur. (#dapet alasan deh 😀 )
typo: Hmm…semoga jika saya menikah & punya anak nanti, …
wahhh mba Tt teliti sekali, batal deh ke rumah bangau dan mba Devi … 😀
lha kok batal? Lha aku blm nebak siapa2 je.. Ayo mb, lakukan penyelidikan, kalau udah ketemu, kasih tau aku, nanti aku nyontek 😀
ywd deh, aku selidikin yg ini, tapi mba Tt yang selidiki Karsini 27 yak…deal? *hiihih dah kayak apaan aja ya*
Memang banyak orang yang menyesalkan saat seorang perempuan, sarjana, memilih untuk total di rumah. Tak jarang malah orang tua sendiri yang merasa menyayangkan, karena sudah membiayai kuliahnya.
Awalnya nebak ini tulisan Bangau Putih. Tetapi, biasanya kan Bangau Putih nulisnya panjang2 dan di Karsini 29 udah nebak Inge.
Hmm…
lho, karsini kan syaratnya tulisan terbatas…
saya nebak mbak ridha
setuju dengan penulis dan komen inyiak vizon juga.
tidak ada setengah hati untuk apapun yang sudah merupakan kewajiban kita.
🙂
setuju dengan tulisannya, saya tidak merasa sayang meninggalkan dunia pekerjaan kok demi menjadi ibu. oopsmaaf om malahoot bukannya jawab karya siapa hehehe. gak tau ini karya siapa yang jelas penulisnya perempuan
Sapa ya bloggerwati yang full menjadi ibu dengan bangganya ❓ saya mengenal seorang Susisuindra dari Jepara yang dengan bangganya resign dari tempat kerja hanya untuk menjadi ibu rumah tangga yang bisa menjaga anaknya sendiri dari rumah.
Salam hangat serta jabat erat selalu dari Tabanan
kok pake HANYA mas? 😀
klo pake DEMI manteb tuh kalimatnya huehue …
Laik thiss
Gak tahu siapa penulisnya,, comment isi aja yak
Dulu si Mama,, pernah jadi wanita karir,, bantu papa jualan,, terus di umur 45 baru mama memutuskan dirumah,jadi ibu rumah tangga,,
Beda nya kerasa jauh sekali punya ibu yang dirumah,, sama punya ibu yang bekerja,,,
Contoh kecil yak,,
Kalau punya ibu yang bekerja komunikasi sebatas telepon tiap jam ditelponin di cek lagi ngapain,, cuma lewat suara aja,,
Kalau punya ibu yang dirumah,, selalu siap buka pintu buat anaknyaa,, rasanya amat sangat menenangkan,, saat pikiran lagi suntuk,, pulang ke rumah ada mama,, yang nunggguin siap jadi tumpahan cerita,, mendengarkan,, walaupun gak ngerti anaknya cerita apa
Itu amat sangat membahagiakan inyiak ktimbang uang jajan yang berlebih,,,
Aku selalu kagum sama mereka yang memilih meninggalkan dunia karir kemudian fokus mengurs anak,,tapi beneran jadi ibu rumah tangga ya bukan nenek2 rempong yg gossiper sana sini :d
bingung mau nebaknya siapa ya?
kalau gak tulisannya Devi Yudhistira , ini tulisannya Ridha kaleeee…. 😛
bukan hanya sebagai ibu rumah tangga saja yg menjalankan tugas2nya sepenuh hati,
saya rasa semua pekerjaan bila dilakukan dgn segenap hati, akan membahagiakan, selain tentunya mendapat bonus pahala dari NYA.
terlebih….nothing wrong being a house wife 🙂
salam
Karena tebakan saya banyak salahnya ketimbang nyrempetnya, maka kali ini saya nggak nebak.
Saya cuma cerita tentang keluarga saya.
Saya tak tau apa yg ada dibenak istri, tapi yang terjadi adalah seperempat abad lebih mendampingi saya, mendidik anak2 saya, dirumah.
Yang saya tau istri saya keliatan nyaman.
Mau kumpul dengan teman2 SMP atau SMA nya nggak harus ijin tertulis keatasan, cukup ngomong ke saya.
Pagi nggak terburu2 dikejar jam kerja
Anggaran yg mestinya buat seragam bisa buat beli baju sesuai selera
Bisa ke salon kapan saja nggak harus sore… 😀
Tapi ini istri saya.
Istrinya orang lain saya nggak tau.
Nothing wrong with a housewife.
Dalam keadaan normal, memang ada plus minusnya untuk wanita bekerja maupun wanita sebagai ibu rumah tangga.
Wanita bekerja tak selalu karena kekurangan harta tetapi ada juga yang karena ingin tetap eksis, karena hobby, karena mengamalkan ilmu, karena ingin bersosialisasi, esteem, dan lain sebagainya. Anak orang kayapun sekalipun akan gembira ketika berhasil menangkap layang-layang yang putus walaupun dengan harta (orangtuanya) dia mampu membeli segrobak layang-layang. Pemilik mobil-mobil mewahpun tak sungkan-sungkan mengirim 10 sopirnya untuk antri di SPBU menjelang kenaikan BBM, bukan.
Demikian pula wanita yang memilih tinggal di rumah dan mengasuh anak-anaknya, bukan juga karena hartanya sudah melimpah, bukan karena dilarang suami dan alasan-alasan lain.Tetapi mungkin itu pilihan terbik baginya.
Seperti yang sering saya ungkapkan, dan saya tak akan jemu2 mengungkapkan dan mengungkapkan lagi, mari kita luruskan niat ketika akan menentukan sebuah pilihan yaitu “…..untuk ibadah”
Jika wanita akan bekerja, niatkan “bekerja untuk ibadah”, dan jika wanita ingin menjadi ibu rumah tangga saja , niatkan ” Menjadi ibu rumah tangga untuk ibadah” Dengan niat yang lurus itu Insya Allah kita akan ikhlas melakukannya yang akan terpancar pada wajah yang mudah tersenyum.
Ketika suami berkata : ” Sambelnya pakai cabe berapa jeng kok agak pedes ?”, ibu rumah tangga yang tidak ikhlas akan berkata : ” Namanya sambel yo pedes mas, kalau gula dimana-mana ya maniisssss..”
Jika ibu Rahayu (tolah-toleh…) memilih menjadi guru, niatkan ” Menjadi guru untuk ibadah”. Insya Allah kiprah di lapangan akan mantap, selalu on the right track, barokah dan akan mendapat bimbingan dari Allah.
Ketika ada murid yang belum bisa mengerjakan soal perkalian 238x0823x230850= ..?, guru yang niatnya untuk ibadah akan berkata : ” Ayo coba lagi, ingat pelajaran yang sudah ibu terangkan minggu lalu “. Lain halnya jika menjadi guru karena hanya untuk mencari nafkah, beliau akan tolak pinggang sambil berkata : ” Hitungan sepele aja gak bisa, makanya kalau dijelaskan jangan sms an sajaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa. Cuci muka sana biar wajahmu nggak kusut !!”
So, cekak cringkrange, hidup memang banyak pilihan.Lakukan war game(olah yudha) atas CB-CB (Cara Bertindak) yang ada. Tinjau dari keuntungan dan kerugian, lalu ambll CB terbaik menurut ukuran anda dengan keuntungan paling besar dan resiko paling kecil. CB terpilih lalu dibungkus dengan ” niat yang lurus”. Insya Allah.
Amanat selesai. Hadirin dimohon berdiri.
Lagu Andika Bhayangkari.
—
Salam hangat dari Pengumpul Cerpen
wkkwwkwkwk trus nek ga hapal lagu Andika Bhayangkari ki piye nasibe Dhe? hahahaha
hehehhehe..suka sekali dengan komen Pakdhe ini,
karena memang yang namanya Ibu bekerja itu kompleeeeeeks sekali permasalahannya, makanya bahasan ibu bekerja dalam topik penelitian kagak pernah ada habisnya (teteup yaaah..),
tapi berdasarkan yang aku baca (teori banget) dan yang aku amati, bener kata Pakdhe: semua itu kembali ke niatnya, setiap ibu yang bekerja yang saya temui kemarin mereka memiliki niat tulus yang bukan sekedar aktualisasi diri, tetapi lebih dari itu yang kemudian menyimpulkan bahwa mereka bekerja menganggap pekerjaan mereka sebagai sebuah panggilan. jikalau itu dilakukan, maka mereka akan tetap merasa nyaman dengan segala konflik kerja keluarga yang mereka alami.
memang gak ada istilah half-time mother. karena semua ibu adalah tetap ibu baik dia bekerja di luar rumah, maupun yang tidak bekerja di institusi. ah topik favorit aku ini oom. let me guess.. ini punyanya Mbak Susi dari Jepara? atau Mbak Hil?
waduh.. gak ada ide om jawabannya.. tapi.mengomentari artikelnya.. kalau mau sekolah tinggi dan jadi ibu RT klo gak salah sekarang udh ada kan yak jurusan menjadi ibu RT di kampus.. dinegara mana gitu aku pernah baca 😀
Nampaknya ini tulisan Jeng Ridha ya, Om 🙂
Waduhh…angkat bendera putih, nggak bisa nebak.
Saya ikut komentar saja.
Menjadi ibu rumah tangga atau menjadi ibu yang bekerja di luar rumah (walaupun nyatanya tetap bertanggung jawab penuh atas kelangsungan rumah tangga), semua merupakan pilihan. Tak ada yang salah, namun apapun pilihannya, kita hendaknya meniatkan untuk melakukan dengan sebaik-baiknya demi kebahagiaan anak-anak dan suami kita.
Bagi saya menjadi ibu rumah tangga sangat indah, karena bisa melihat perkembangan buah hati kita. Menjadi ibu yang kerja di kantor pun penuh pertentangan, terutama jika anak sakit, sedangkan kita tak bisa cuti karena ada rapat penting. Saya tak pernah menyesal dengan pilihan saya, apalagi saya tetap bekerja di kantor atas dukungan suami. Saat anak sakit dan saya terpaksa harus tetap berangkat ke kantor karena ada meeting yang tak bisa ditinggal, suami selalu bersedia mengambil alih tugas.
Karya Mbak Choco Vanila bukan yaaa… *mijit kening*
Bukan, Sayangkuuu, I’m still working 🙂
Duh..duh..lagi2 ga tau siapa yg nulis Om… tapi seru membaca komentar teman-teman di postingan ini, coz msh bingung nih Om, kalau besok2 diamanahkan malaikat kecil mau gimana… Ealah kok curcol hihihihi
yah… komen sekarang..namum saya baca satu persatu komentar yang ada..
Iya di milis dan forum ibu2 juga sering ada bahasan seperti ini..istilah FTM (full time mother) sekarang lebih dikenal dengan SaHM ( Stay at home mom) ..karena memang ada yg berkebaratan dengan istilah full time mom bg yang tidak bekerja…
memang kalau dibahas akan jadi panjang.. tapi InsyaAllah masing -masing orang tua tentu punya pilihan dan pertimbangan masing2 dan selalu berusaha memberikan yang terbaik buat anak2nya ….
xixixi sebenere udah gateeeel dari kemarin mo nyautin yg komen, tapi takut ketauan hahahaha
well, FTM itu cuma istilah saja kok Uda, tetapi maksudku sebenernya sudah pada ngertilah, bahwa jika jadi ibu pekerja atau pun jadi ibu bukan pekerja, hatinya ya harus TULUS gitu loh.
Klo udah ga kerja, di rumah ngurusin anak pun ga ikhlas, terus dapet capek doang dong?
Sejak tamat sekolah SMA bunda bekerja sambil kuliah. Begitu juga setelah nikah tetap bekerja. Banyak orang yang salut dengan tugas bunda. Kenapa? Karena gak masalah kita kerja seluruh waktu siang sampai sore, tapi setelah dirumah “Quality” kebersamaan dengan anak-anak kita tingkatkan. Anak-anak tetap bangga dan tidak “keleleran”. Yang penting bunda sudah mengajarkan kepada anak-anak sejak dini untuk mandiri. Untuk dikelonin bobo siang sama si mbak? No way! Mereka cukup diantar kekamar tidur. Alhamdulillah anak-anak bunda respect sama bunda dan gak ada yang mengeluhkan bunda bekerja sehingga menjadi ibu paruh waktu, hehehehe….. Istilah itu bunda tutup dengan QUALITY kebersamaan. ASI mereka dapatkan wlp bunda bekerja karena di Unicef ada breast-room. Suami juga sama-sama bekerja. Salut juga buat ibu-ibu yang tetap tinggal dirumah, apa pun alasannya. Mereka bahagia bisa melihat perkembangan dan pertumbuhan anak-anaknya tiap detik dan tiap menit. Mereka lebih beruntung dalam hal ini. Tapi mari kita lihat akhir akhirnya aja deh. Wlp kita kerja dan tidak menjadi FTM tetap bisa menelorkan bibit-bibit unggul koq. Jadi gak ada alasan untuk memperdebatkan atau mempermasalahkan eee si dia tuh ibu rumah tanggal tulen, atau eee…si dia itu ibu-ibu kantoran. Gituuu…. Keduanya sudah merupakan pilihan. So What?
no what what bun xixixi
sing penting sih, pilihan manapun lebih enak njalaninya klo IKHLAS
itulah inti tulisan itu bun 😀
soale saya masih nemu orang yang masih merasa sayang dengan degree yang sudah dihasilkannya,s ementara di sisi lain dia merasa digondeli anak yang telah dilahirkannya.
nique…gw jadi terinspirasi buat postingan nih….lanjutttttttttttttttt
ayoooo pengen baca tulisannya 😀
Aku setuju Niq, kita harus ikhlas menentukan pilihan, dan pilihan tersebut harus dijalankan sepenuh hati. Sebaik yang bisa kita lakukan sebagai perempuan, juga Ibu.
tepat sekali mba, itu yang saya maksud 🙂
wah…. seru dan menarik sekali komen2nya nih…… saya mah udah tau nih siapa pemilik tulisan ini…. #hehe, ya iyalah, wong datangnya juga dari link si pemilik tulisan nih….
sayang banget ga bisa hadir saat tulisan ini sedang gencar2nya penyelidikan terhadap sang pemilik tulisan ah… 😦
tapi… baidewei nih, postingan ini keren banget, Inner war ini memang selalu bersemayam dihati setiap wanita lho (menurut saya),… karena saya sendiri juga sering merasakannya, tapi cara meredam perang ini adalah seperti yang mbak Yunda katakan diatas….. Ikhlas menentukan pilihan dan jalankan sepenuh hati dan bertanggung jawab.