i.e Wartawan Tanpa Surat kabar
Sekarang sedang marak (kembali) dibahas tentang “profesi” yang satu ini, wartawan tanpa surat kabar (WTS). Beberapa pihak ada juga yang menyebut wartawan bodrex. Kerjanya? Berburu event press conference (pres-con) dari satu venue ke venue yang lain. Apa yang mereka cari? Tentu saja “salam tempel”, selipan amplop uang, goody bag, sampel produk, makan siang atau paling apes kudapan snack dan segelas air mineral gratis.
Ada suatu masa di mana saya pernah punya pengalaman berinteraksi langsung dengan mereka. Pada tahun 1992 sampai dengan 2002 saya pernah bekerja sebagai brand manager (pengelola merek) di sebuah perusahaan fast moving consumer goods multinasional. Pekerjaan saya salah satunya adalah melakukan kegiatan “brand activation” (bahasa awamnya : promosi). Mulai dari event sponsorship kejuaraan motocross se kotamadya sampai ke level Kejuaraan Dunia Bulutangkis Thomas dan Uber Cup. Mulai dari pertunjukan musik tingkat kabupaten sampai dengan pameran lukisan seorang maestro, pelukis Jeihan.
Semua rangkaian kegiatan tersebut pada umumnya dimulai dengan aktifitas press conference. Kita mengundang wartawan dan menginformasikan event yang akan berlangsung, dengan harapan wartawan mendapatkan berita, dan kita pun mendapatkan gaung publikasi melalui media mereka.
Ketika mengadakan pres-con, saya sering sekali bertemu dengan beberapa oknum yang biasa disebut orang wartawan tanpa surat kabar ini. Entah mereka tau dari mana, ujuk-ujuk mereka muncul begitu saja di event kita. Biasanya mereka datang rombongan, berdua atau bertiga. Sebetulnya kami sudah mempunyai daftar nama wartawan resmi yang diundang beserta medianya masing-masing. Kami tentu memilih wartawan yang berkompeten, mempunyai kredibilitas, “track record” tulisannya bagus dan berasal dari media massa yang resmi.
Namun apa yang terjadi? Ada banyak kejadian di mana terdapat banyak oknum yang datang dan mengaku wartawan/reporter dari media A, koran B, jurnal C, bulettin D, harian E dan sebagainya. Mereka tidak terdaftar di daftar hadir tetapi nekat memaksa masuk. Biasanya mereka hanya datang, bergerombol di belakang, merokok, dan menunggu pembagian goody bag saja. Jarang ada yang mau duduk tertib mendengarkan pemaparan pembicara.
Dalam melakukan pres-con, kami biasanya dibantu oleh media relation agency. Media relation agency yang bonafide pasti punya petugas semacam “body guard” atau security yang mengamankan orang-orang tak diundang seperti ini. Mereka juga sudah menyiapkan goody bag versi KW 2, dengan isi “ala kadarnya* untuk diberikan ke mereka. Sekedar agar mereka bisa segera pergi dari event kami (yang disebut *ala kadarnya itu adalah : isinya hanya beberapa lembar dokumen press-release, satu ball point dan/atau selembar stiker event)
Selain wartawan tanpa surat kabar, ada lagi wartawan atau reporter yang berasal dari media-media kecil. Wartawan/reporter seperti ini, saya perhatikan semakin banyak bermunculan pada saat masa reformasi dulu. Saya masih ingat ketika itu, banyak sekali media-media baru diluncurkan. Euphoria “bicara” sedang tinggi-tingginya. Ada banyak sekali media, entah apa-apalah namanya. Untuk tipe yang ini, agak sulit untuk menolaknya, karena mereka mempunyai kartu tanda wartawan dari media masing-masing. Harian ini, harian itu, Jurnal ini, jurnal itu. Media internal ini, media internal itu. Dan yang asiknya ada beberapa media yang ternyata “kagetan”. Hanya terbit sekali, dua kali, lalu mati. Sementara kartu tanda pengenal/wartawan/ reporternya masih ada terus, dan tidak ditarik. Mereka tetap beredar, berburu pres-con.
Sungguh memerlukan seni persuasif tersendiri untuk menolak orang-orang semacam ini. Tegas tapi tetap sopan. Karena biasanya jika mereka ditolak mereka punya ancaman klasik yang selalu mereka katakan. “Waahhh bagaimana ini panitianya tidak profesional, akan kami tulis di media kami nanti!” Menakut-nakuti. Tapi biasanya ini hanya gertak sambal saja. Mau ditulis di mana hawong medianya saja sudah tidak ada.
Apa masalah hanya sampai saat pres-con saya?
Oh tentu tidak!
Ada beberapa kali saya “ditodong” secara halus. Dua tiga hari setelah pres-con, mereka datang ke kantor, membawa bukti tayang artikelnya. Bukti bahwa event kita sudah ditulis di medianya (yang jujur saja, saya juga baru lihat wujud medianya saat itu) “Artikel eventnya udah terbit nih Pak, mana nih partisipasinya” begitu katanya. “Partisipasi?”. Ya mereka minta uang secara halus.
Yang lebih asik lagi, suatu kali ada seseorang yang mengaku wartawan foto yang sengaja datang ke kantor lalu menjual beberapa foto dokumentasi kita saat pres-con kemarin. Persis seperti tukang foto yang menjajakan foto di suatu acara seminar atau wisuda. Saya yakin dia cuma mengaku-ngaku sebagai wartawan foto saja. Kalau sudah begini, saya hanya bisa memberikan uang ganti cetak ala kadarnya saja (tentu setelah berkeringat tawar menawar, karena ini memakai uang dari kocek pribadi)(plus tak lupa saya minta beking satpam kantor)(hahaha)
.
Apa mereka masih ada sekarang?
Saya tidak tau. Tetapi rasanya kok sudah semakin sedikit. Atau bahkan sudah tidak ada lagi. Wartawan zaman sekarang saya perhatikan sudah semakin profesional dan proporsional. Karena persaingan industri media semakin sulit dan ketat. Ditambah lagi, peran media massa cetak konvensional saat ini telah sedikit demi sedikit diambil alih oleh media online dan juga … Blog! Ini adalah era di mana untuk mempublikasikan suatu produk atau kegiatan, pilihan media yang paling intim, personal dan efektif, (plus efisien) adalah melalui blog.
.
Lalu apa pelajarannya bagi kita para Blogger?
Yang utama tentu saja kita harus menjaga kredibilitas diri dan blog kita. Kita harus menulis dengan baik, profesional dan berintegritas. Tidak bohong-tidak nyontek dan tidak jorok.
Jika ada undangan meliput suatu acara, maka daftarkan diri anda melalui koordinator/media relation agency yang ditunjuk. Dan kalau sudah terdaftar maka tepatilah undangan tersebut. Jangan asal mendaftar tetapi karena ada urusan lain lalu membatalkan janji begitu saja tanpa berita. Jika anda berhalangan datang, segera beri tau koordinator blogger/agency. Jadilah undangan yang mempunyai harga diri, manner dan tau tata krama.
Dan kalau sudah hadir, jangan lupa untuk segera menulis kesan dan pengalaman pribadi kita selama mengikuti acara tersebut di blog masing-masing. Dengan versi kita masing-masing tentunya. Sekali lagi kredibilitas kita sebagai blogger harus terus kita jaga. Agar kita tidak menjelma menjadi … “Blogger tanpa Blog”. Hahaha … maksa yah?
Salam saya
.
.
.
.